BANDA ACEH — Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Aceh dinilai turut melindungi terduga pelaku tindak pidana korupsi di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang kasusnya telah dihentikan oleh Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh.
Kabid Propam menyatakan, tidak ada unsur pelanggaran disiplin dan/atau kode etik profesi Polri atas penghentikan dugaan tindak
pidana korupsi KKR Aceh oleh Polresta Banda Aceh.
Alasannya, pertama karena ada Nota Kesepahaman Nomor: 100.4.7/437/SJ Nomor 1 tahun 2023 dan Nomor: NK/1/I/2023 tanggal 25 Januari 2023 tentang koordinasi aparat pengawasan internal pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam penanganan laporan atau pengaduan penyelenggaraan pemerintah daerah antara Mendagri, Kejaksaan RI dan Polri.
Kedua karena ada Pedoman Kerja Teknis (PKT) Nomor: 01/PKSIA/2023 dan Nomor: B/04/IV/HUK.1.1./2023 tanggal 14 April 2023 tentang
penanganan dugaan tindak pidana korupsi pada penyelenggara pemerintah Aceh antara APIP (inspektorat Aceh) dan APH (Ditreskrimsus Polda Aceh).
“Menurut kami, alasan Kabid Propam Polda Aceh tidak berlandaskan ketentuan hukum,” ujar Alfian (Koordinator MaTA) didampingi Muhammad Qodrat (Kepala Operasional LBH Banda Aceh) dan Raihal Fajri (Direktur Eksekutif Katahati Institute) dalam keterangannya, Kamis (1/2)
Menurutnya, hirarki peraturan perundang-undangan, Nota Kesepahaman bukanlah hukum, bahkan lebih rendah dari perjanjian. Harusnya Kabid Propam Polda Aceh melihat hukum secara utuh, bukan malah mencari celah untuk menormalisasi kejahatan yang mengoyak rasa keadilan Korban Konflik dan Pelanggaran HAM di Aceh. Seharusnya tindakan Kasat Reskrim ataupun Kapolresta Banda Aceh yang menghentikan dugaan kasus korupsi SPPD fiktif KKR Aceh dapat dianggap melanggar etik profesi Polri dalam hal penegakan hukum.
Kemudian terkait dengan kerugian negara lebih kecil dari biaya penanganan perkara. Kepolisian sangat pilah pilih kasus korupsi untuk diproses secara hukum.
Kerugian negara pada dugaan kasus SPPD fiktif KKR Aceh adalah Rp 258.594.600, dibandingkan dengan beberapa kasus dugaan korupsi yang total kerugian lebih sedikit namun kasusnya sampai ke meja hijau di proses secara hukum.
Contohnya kasus korupsi penyelewengan dana desa di Gampong Meunasah Blang Kecamatan Sakti dengan total kerugian negara Rp 221 juta, kasus korupsi dana desa Teureubeh dengan total kerugian Rp 212 juta, dan korupsi dana desa BUMG Kreung Raya Kota Sabang dengan total kerugian 136 Juta.
Itu artinya, kepolisian secara gamblang memperlihatkan ke publik pilah-pilih proses penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi.
Padahal, pengembalian kerugian keuangan oleh Komisoner KKR dan jajarannya merupakan konfirmasi telah terjadinya kejahatan tindak pidana korupsi, jika para pelaku hanya diharuskan mengembalikan kerugian keuangan negara tanpa menanggalkan jabatan yang diemban, artinya penegak hukum memberikan peluang kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya, hal ini dikarenakan masih memiliki jabatan dan kewenangan, sehingga berpotensi besar mengulangi perbuatan yang sama.
Permisifnya Kabid Propam Polda Aceh pada kasus ini, berpotensi besar menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi di Aceh.
“Jika Kabid Propam Polda Aceh ikut membiarkan tindakan penyidik menghentikan kasus korupsi seperti ini, maka ke depan penyidik akan secara ugal-ugalan menggunakan Nota Kesepahaman di atas pada kasus korupsi, dan pelaku-pelaku Korupsi yang lain juga
akan melakukan pembenaran dan rasionalisasi terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan, jika ketahuan, cukup mengembalikan uang, dan kasus diangap selesai,” pungkas Alfian. (IA)