INFOACEH.NET, BANDA ACEH — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh membeberkan sejumlah modus operandi penyimpangan yang kerap terjadi dalam pengelolaan dana desa.
Hal itu disampaikan Kepala Seksi Sosial Kebudayaan dan Kemasyarakatan Kejati Aceh Firmansyah Siregar SH MH pada penyuluhan hukum dalam program “Jaksa Menyapa” dengan tema “Program Jaga Desa Sebagai Inovasi Kejaksaan RI dalam Upaya Pencegahan Penyimpangan Dana Desa di Aceh”.
Penyuluhan tersebut merupakan kerja sama Kejati Aceh bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh yang disiarkan langsung melalui radio swasta di Banda Aceh, Jum’at, 2 Agustus 2024.
Program Jaga Desa merupakan salah satu upaya preventif yang diinisiasi oleh Kejaksaan RI dalam rangka memastikan pengelolaan dana desa yang tepat sasaran, tepat guna, dan bebas dari penyimpangan.
Tim penyuluh hukum Kejati Aceh yang dipimpin Plh Kasi Penkum Ali Rasab Lubis SH, menghadirkan Kepala Seksi Sosial Kebudayaan dan Kemasyarakatan Kejati Aceh Firmansyah Siregar SH MH serta Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Keuangan Desa DPMG Aceh T. Zul Husni SSos MSi sebagai narasumber menjelaskan berbagai aspek dan tujuan dari program ini.
Firmansyah Siregar menekankan pentingnya pengawasan dan pendampingan dalam pengelolaan dana desa.
“Program Jaga Desa bertujuan mencegah penyimpangan dana desa melalui sosialisasi, koordinasi, dan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait. Kejaksaan juga merencanakan pembentukan aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai alat bantu pengawasan,” jelasnya.
Selain itu, Firmansyah juga menyoroti salah satu fokus utama dari program ini adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat desa.
“Aparatur desa harus memiliki kompetensi yang tinggi dalam pengelolaan dana desa. Kami juga berupaya meningkatkan kesadaran hukum di kalangan aparatur desa untuk memastikan pengelolaan keuangan desa yang transparan dan akuntabel,” tambahnya.
Program Jaga Desa tidak hanya berfokus pada upaya pencegahan, tetapi juga mencakup penanganan kasus penyimpangan yang telah terjadi.
“Kami mengedepankan prinsip ultimum remedium, dimana pemidanaan adalah langkah terakhir. Kejaksaan akan terlebih dahulu melakukan pencegahan dan pembinaan. Namun, jika ditemukan niat jahat dan kerugian negara, penindakan hukum akan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku,” tegas Firmansyah.
Firmansyah juga mengidentifikasi sejumlah modus operandi yang sering terjadi dalam penyimpangan dana desa. Beberapa di antaranya termasuk kelalaian dalam penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya, pemotongan dana desa oleh pejabat atau pemerintah daerah, serta pengadaan perjalanan dinas fiktif yang hanya menjadi ajang untuk jalan-jalan.
Selain itu, penggelembungan harga barang (mark-up) dan pembayaran honor fiktif juga kerap ditemukan dalam pengelolaan dana desa.
“Ada juga praktek pemotongan dana yang seharusnya disetor sebagai pajak namun tidak dilakukan, serta kolusi atau ‘kong kali kong’ dalam proyek yang didanai oleh dana desa,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, T. Zul Husni mengungkapkan capaian pemanfaatan dana desa di Aceh dari tahun 2015 hingga 2023.
“Dana desa di Aceh telah dimanfaatkan untuk berbagai proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan sepanjang hampir 20 juta meter, pembangunan jembatan, pasar desa, serta peningkatan fasilitas umum seperti jaringan air bersih dan MCK,” ungkapnya.
Zul Husni juga menambahkan bahwa capaian ini menunjukkan komitmen pemerintah desa dalam memanfaatkan dana desa untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kami memberikan apresiasi kepada seluruh aparatur desa yang telah bekerja keras dalam mengelola dana desa dengan baik. Ke depan, kami berharap program Jaga Desa dapat terus memperkuat pengelolaan dana desa yang lebih baik dan bebas dari penyimpangan,” tuturnya.