INFOACEH.NET, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil mengusulkan adanya rancangan undang-undang (RUU) tentang restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif. Ia ingin adanya alas hukum di tengah-tengah masyarakat.
“Bapak, Ibu, komisi III barangkali penting untuk kita pikirkan agar kita mengusulkan RUU Restorative Justice selama ini ada peraturan di Kapolri, peraturan di Kejagung perlu kita naikkan alas hukumnya sehingga kita bisa memberikan keadilan restorative justice di tengah-tengah masyarakat Indonesia,” kata Nasir Djamil dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Gedung DPR, Senayan, Rabu (13/11/2024).
Nasir menyinggung sebenarnya di ajaran agama mana pun ada yang menyertakan sistem restorative justice itu. Ia menyebut hal itu juga sesuai dengan adat dan kearifan lokal.
“Sebenarnya Pak Habiburokhman (Ketua Komisi III DPR) ketika kita mau mengusulkan RJ itu, itu sebenarnya sesuai dengan ajaran agama, adat, kearifan lokal yang berlaku di Indonesia,” ujar Nasir Djamil.
Nasir Djamil menilai RUU Restorative Justice dapat menjadi alas hukum bagi penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
Karena kehadiran payung hukum itu penting agar penyelesaian suatu tindak pidana tak melulu berujung pada membawa pelaku ke penjara.
Pada kesempatan itu, Nasir memberikan apresiasi terhadap upaya restorative justice yang dilakukan Kejaksaan Agung selama ini. Apalagi, kata dia, dalam paparan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat itu disebutkan ada 6.000 kasus yang diselesaikan dengan restorative justice, termasuk pembentukan 4000 rumah restorative justice.
“Itu menunjukkan ada kesungguhan bahwa kita menyadari hukuman di lapas atau rutan itu hanya menimbulkan masalah baru. Itu sepertinya negara tidak mempunyai manfaat sama sekali, bahkan negara menanggung biaya tinggi,” kata dia.
Menurut Nasir, penyelesaian kasus dengan restorative justice bakal memangkas pengeluaran negara untuk hal yang tidak bermanfaat. Salah satunya, biaya makan bagi para tahanan di lapas maupun rutan.
“Coba bayangkan menghukum orang di penjara terisolasi secara fisik dan mental bahkan keperdataannya juga mati sampai menunggu ajal di sana, jadi tidak ada manfaatnya mereka di sana,” kata Nasir.
Karena itu, dia kembali mendorong DPR dan pemerintah untuk segera memikirkan pembahasan RUU Restorative Justice. Nasir berkeyakinan payung hukum ini akan mengurangi kapasitas terpidana di lapas ataupun rutan.
“Sebab, restorative justice yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan mampu mengurangi jumlah perkara dan itu berdampak terhadap pembiayaan,” katanya.
Nasir menekankan, restorative justice harus menjadi payung hukum tersendiri. Terlebih, restorative justice sangat spesial dan diprediksi mampu mengurangi pengeluaran uang negara secara signifikan.
“Jadi bayangkan setiap tahunnya kementerian kemasyarakatan akan berkurang biaya. Saya ingin UU ini dibuat sendiri, bukan dicantolkan di RUU KUHAP,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung, ST Burhanuddin, mengaku bersyukur jika restorative justice jadi undang-undang.
“Kemudian soal restorative justice Pak, kita memang lagi kita akan kembangkan lagi soal restorative justice dan saya mengharap kalau memang nanti jadi undang-undang, saya sangat bersyukur,” terangnya.