Banda Aceh — Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh Dra Hj Rosmawardani SH MH yang juga tokoh pemerhati anak dan perempuan mengatakan, tidak semuanya pelaku jarimah asusila dihukum dengan hukuman cambuk.
Akan tetapi juga banyak yang dipenjara. Ia menjelaskan ada perkara yang menonjol atau menarik perhatian masyarakat dan telah dirilis oleh media antara lain adanya putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh tentang hukuman penjara maksimal 200 bulan dalam perkara perkosaan anak di bawah umur
Namun kadang hal tersebut jangan dijadikan argumentasi bagi sebagian masyarakat untuk mendegradasi pelaksanaan hukum syariah yang ditangani Mahkamah Syar’iyah di Aceh.
“Sebab tidak adil apabila satu putusan yang dianggap kurang tepat lalu akan mengubur putusan putusan lain yang sudah tepat dan benar serta memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ujar
Rosmawardani saat menyambut kunjungan kerja tim Komisi III DPR RI di aula lantai III Gedung Mahkamah Syar’iyah Aceh, Sabtu (10/4).
Selanjutnya Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, meyampaikan langkah langkah strategis yang dilakukan untuk mewujudkan peningkatan kualitas, integritas dan profesionalisme hakim dan aparat lainnya, di tengah minimnya jumlah hakim yang jauh dari kebutuhan ideal bagi sebuah Mahkamah atau lembaga pengadilan.
Untuk itu ia mengharap kepada Anggota Dewan selain menganggarkan kebutuhan sarana dan prasarana di bidang perdata dan pidana (jinayah) juga dapat berkenan mendorong pihak eksekutif melakukan rekrutmen hakim setiap tahunnya, karena permasalahan minimnya jumlah hakim sudah menjadi permasalahan nasional.
Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Dra Hj Rosmawardani SH MH juga memaparkan program prioritas serta kebutuhan anggaran yang masih diperlukan dalam upaya optimalisasi tugas dan fungsi Mahkamah Syar’iyah.
Ketua Mahkamah Syar’iyah juga memperkenalkan bahwa sebenarnya di provinsi lain dikenal pengadilan agama yang metamorfosis ke Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yang merupakan implikasi dari Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 dan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan Islam, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang KEPPRES Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kemudian, Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 70 tahun 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah PROVINSI ACEH NOMOR : KMA/070/SK/X/2004 oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Kemudian lembaga ini dipertegas dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh yang merupakan penjabaran dari MoU Helsinki Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
“Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah salah satu dari Lembaga istimewa Aceh. Lembaga ini salah satu unsur bentuk satu win win solution dari Pemrintah Pusat dalam menyelesaikan konflik di Provinsi Aceh. Yang berwenang mengadili perkara perdata, perkara jinayat (pidana islam) serta perkara ekonomi syariah,” ujarnya.
Selesai memberikan pemaparan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh beserta Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh serta tim pendamping yang terdiri atas ketua dan salah satu Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho, Ketua Mahkamah Idi, Ketua Mahkamah Syariah Calang, Ketua Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, serta tim Hakim Tinggi yakni Darmansyah Hasibuan SH MH dan Khairil Jamal SH MH serta Panitera Drs Syafruddin, Sekretaris Khairuddin SH MH menjawab pertanyaan pertanyaan yang muncul dari Tim Komisi III secara tuntas dan representatif dan akan disampaikan secara tertulis kepada Komisi III DPR RI.
Habib Aboe Bakar Al-Habsyi (Anggota Komisi III DPR RI F-PKS) menanyakan kesigapan dan kesiapan infrastuktur dan suprastruktur kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh terkait dalam menangani masalah ekonomi syar’iyah yang merupakan implikasi Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang LKS (Lembaga Keuangan Syariah).
Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh menyampaikan akan mempersiapkan hakim dengan kompetensi dalam hal ini bersertifikat Ekonomi Syariah sama dalam mengadili persoalan pidana anak.
Yang secara umum hakim telah mengikuti Diklat sistem peradilan pidana anak yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. (IA)