Jakarta — Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan murka menyusul pembakaran mushaf Al Quran oleh Politikus Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, ketika menggelar aksi demonstrasi di Stockholm pada akhir pekan lalu.
Pada Senin (23/1) memperingatkan Swedia untuk tidak berharap mendapatkan dukungannya untuk bergabung dengan NATO setelah pembakaran Al Quran di depan kedutaan Ankara, Stockholm.
“Swedia seharusnya tidak mengharapkan dukungan kami untuk NATO,” kata Erdogan dalam tanggapan resmi pertamanya terhadap tindakan politisi anti-Islam selama protes pada Sabtu (21/1) disetujui polisi Swedia meski Turki keberatan.
“Jelas mereka yang menyebabkan aib seperti itu di depan kedutaan besar negara kami tidak lagi dapat mengharapkan kebaikan dari kami atas permohonan mereka untuk menjadi anggota NATO,” kata Erdogan seperti diberitakan AFP.
Komentar Erdogan membuat prospek Swedia dan Finlandia bergabung aliansi pertahanan Barat sebelum pemilihan presiden dan parlemen Turki pada Mei mendatang semakin jauh.
Turki dan Hungaria adalah satu-satunya anggota NATO yang tidak meratifikasi keputusan bersejarah negara-negara tetangga Nordik itu untuk mematahkan tradisi non-blok militer mereka dalam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina.
Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban telah berjanji bahwa parlemennya akan menyetujui dua penawaran bulan depan.
Namun, semua berubah setelah aksi pembakaran Al Quran, pada Sabtu (21/1). Swedia pun kini bereaksi dengan sangat hati-hati terhadap pernyataan Erdogan.
“Saya tidak bisa mengomentari pernyataan malam ini. Pertama, saya ingin memahami persis apa yang dikatakan,” kata Menteri Luar Negeri Tobias Billstrom kepada kantor berita Swedia TT.
Erdogan mengatakan pembakaran Al Quran yang merupakan kitab suci umat Islam adalah kejahatan rasial yang tidak dapat dibela dengan alasan kebebasan berbicara.
“Tidak seorang pun berhak mempermalukan orang-orang kudus,” katanya dalam pidato yang disiarkan televisi secara nasional.
“Ketika kita mengatakan sesuatu, kita mengatakannya dengan jujur, dan ketika seseorang menghina kita, kita menempatkan mereka pada tempatnya.”
Semua bermula dalam aksi menentang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan digelar di Stockholm, Swedia pada Sabtu (21/1).
Aksi itu dilakukan buntut permintaan Erdogan agar Swedia tak lagi melindungi aktivis Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang kabur dari Turki ke negara tersebut.
Permintaan itu disampaikan Erdogan sebagai salah satu syarat jika Swedia ingin mendapatkan restu Turki masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Massa berunjuk rasa dengan membentangkan spanduk besar berwarna merah bertuliskan “Kita semua PKK”. Turki menganggap PKK sebagai kelompok separatis bahkan organisasi teroris. Selain Turki, Amerika Serikat dan beberapa negara lain juga melarang aktivitas PKK di negaranya.
Berbagai aktivis hingga politikus ikut dalam demonstrasi anti-Erdogan itu. Politikus Swedia Rasmus Paludan yang terkenal anti-Islam bahkan membakar Al Quran dalam demo tersebut.
Merespons hal itu, Turki dan sejumlah negara seperti Arab Saudi, Yordania, Kuwait, hingga Indonesia mengutuk keras aksi pembakaran Al Quran tersebut.
Seperti diketahui, Politikus Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, lagi-lagi dibanjiri kecaman setelah membakar mushaf Al Quran ketika menggelar aksi demonstrasi di Stockholm pada akhir pekan lalu.
Wajah Paludan kembali memenuhi pemberitaan setelah ia membakar salinan Al Quran menggunakan korek api ketika menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm.
Saat itu, sejumlah warga berdemonstrasi setelah Erdogan mendesak Swedia agar tak lagi melindungi aktivis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang kabur dari Turki ke negara itu.
Permintaan itu merupakan salah satu syarat dari Erdogan jika Swedia ingin mengantongi restu Turki untuk masuk NATO.
Ini bukan kali pertama Paludan memicu kontroversi. Sejak terjun ke dunia politik, Paludan memang dikenal sebagai ekstremis sayap kanan garis keras yang kerap menyuarakan sentimen anti-Islam dan imigran.
Berdasarkan laporan media Denmark, Politiken, Paludan sebenarnya memegang gelar sarjana hukum. Ia pun sempat menjadi pengacara dan menangani sejumlah kasus terkait ganja medis hingga suaka imigran.
Paludan kemudian mulai sering menghadiri pertemuan International Free Press Society pada 2016. Ia juga beberapa kali mengikuti demonstrasi anti-Muslim yang digelar kelompok For Frihed di Denmark.
Setahun kemudian, tepatnya 2017, politikus kelahiran Denmark itu mendirikan partai Stram Kurs yang dikenal menolak kehadiran imigran dan Muslim di Denmark.
Paludan pertama kali menyedot perhatian internasional pada 2019, ketika ia memancing emosi Muslim karena membakar Al Quran dalam demonstrasi di Viborg, Denmark.
Media lokal Denmark, Nyheder, melaporkan bahwa sekitar 100 orang ikut serta dalam demonstrasi itu. Tiga di antaranya ditangkap karena dianggap memicu keributan.
Belum berhenti, Paludan kembali berencana menggelar demonstrasi dengan prosesi pembakaran Al Quran di Malmo, Swedia, pada Agustus 2020.
Namun, Swedia melarang Paludan masuk. Pihak berwenang mencegat Paludan di pos pemeriksaan. Mereka menekankan Paludan dilarang masuk hingga dua tahun.
“Dia merupakan ancaman serius,” demikian pernyataan kepolisian Swedia yang dikutip media lokal SVT Nyheter.
Meski demikian, Swedia memberikan kewarganegaraan untuk Paludan setelah itu. Mereka akhirnya memberi status kependudukan itu karena ayah Paludan memang warga Swedia.
Karena Paludan sudah menjadi warga negara, Swedia dapat memvonis bersalah politikus itu atas tuduhan membuat pernyataan rasis dan menghina.
Copenhagen Post memberitakan Paludan dijerat hukuman tiga bulan penjara atas pelanggaran terkait rasialisme. Selain itu, ia juga didenda 30 ribu krona atau setara Rp45,7 juta. (IA/AFP)