Jakarta – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo melarang media massa untuk menyiarkan ulah polisi yang berbuat arogan. Larangan itu merujuk pada Surat Telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan kurang setuju karena seharusnya Kapolri Listyo Sigit tidak perlu melarang media massa tersebut. Sebab media sudah punya pedoman Kode Etik Jurnalistik dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
“Itu tak perlu, karena liputan media sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan Undang-undang Pers,” ujar Agus kepada wartawan, seperti dilansir dari
JawaPos.com, Selasa (6/4).
Menurut Agus, polisi bisa merujuk kepada dua aturan tersebut. Sehingga tidak perlu untuk membuat aturan baru lewat Surat Telegram Kapolri.
“Semestinya polisi merujuk pada keduanya sudah cukup,” ungkapnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram terkait dengan peliputan media massa di lingkungan Polri.
Telegram tersebut dinilai akan menghalangi kerja media massa.
Salah satu poin telegram yang diteken Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri pada 5 April itu melarang menyiarkan tindak arogansi dan kekerasan oleh aparat.
“Terutama poin satu berpotensi menghalangi kinerja jurnalis. Karena di dalamnya tertulis media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan kekerasan,” kata Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/4).
Sasmito mengatakan aparat kepolisian kerap menjadi aktor yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, termasuk para jurnalis. Ia pun meminta Listyo mencabut kembali surat telegram tersebut.
“AJI meminta ketentuan itu dicabut jika dimaksudkan untuk membatasi kinerja jurnalis,” ujarnya.
Menurut Sasmito, Listyo sebaiknya fokus menertibkan anak buahnya agar tak lagi melakukan kekerasan saat bertugas. Salah satu caranya yakni memproses hukum seluruh anggota Polri yang terlibat dalam kekerasan.
“Terbaru, kasus Jurnalis Tempo, Nurhadi di Surabaya. Bukan sebaliknya memoles kegiatan polisi menjadi humanis,” katanya.
Sementara Direktur LBH Pers Ade Wahyudi mengatakan telegram Listyo sangat berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ade menyebut telegram tersebut bernuansa melarang meliput kekerasan aparat.
“Fungsi pers justru harus menjadi kontrol jalannya pemerintahan dan penegakan hukum,” kata Ade.
Ade mengatakan pelanggaran para pejabat publik atau aparat harus sampai ke masyarakat melalui kerja jurnalistik yang dilakukan oleh awak media.
Menurutnya, wartawan wajib mengabarkan kekerasan yang dilakukan para aparat kepolisian. Akses terhadap informasi itu, kata Ade, tak boleh ditutup melalui telegram tersebut.
“Karena media dilarang meliput, maka nanti hanya akan ada informasi tunggal yang justru itu menutup ruang demokrasi,” ujarnya.
Sebelumnya, telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 ditandatangani oleh oleh Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Telegram bersifat sebagai petunjuk arah (Jukrah) untuk dilaksanakan jajaran kepolisian.
Secara spesifik, telegram itu ditujukan kepada para Kapolda dan Kabid Humas jajaran di kewilayahan.
Dalam poin-poinnya, Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Hal itu termaktub dalam poin pertama dalam telegram tersebut.
“Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis,” tuis Listyo dalam telegram tersebut dan dikutip pada Selasa (6/4). (IA)