Oleh: Dr. Sabirin, M.Si
Menyikapi berita www.infoaceh.net pada Selasa, 15 Desember 2020 tentang Esport Indonesia (ESI) resmi menjadi cabang olahraga (Cabor) baru anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh. Hal ini bersamaan dengan penetapan delapan cabor lainnya sebagai anggota baru KONI Aceh dalam Forum Rapat Anggota Tahunan (RAT) KONI Aceh, sehingga total anggota KONI Aceh saat ini menjadi 62 organisasi olahraga.
Sebagai sebuah hasil RAT KONI Aceh yang kali ini digelar secara virtual, dan dibuka oleh Ketua Umum H. Muzakir Manaf pada Selasa (15/12) di Sekretariat KONI Aceh, tentunya sudah didiskusikan secara bersama. Namun kami melihat, terkait dengan penetapan Esport Indonesia (ESI) sebagai cabang olahraga (Cabor) baru anggota KONI Aceh perlu dipertimbangkan kembali, untuk kemaslahatan umat dan generasi bangsa ke depan.
Jim Parry dari Faculty of Physical Education and Sport, Charles University, Prague, Czech Republic dalam hasil risetnya mengatakan bahwa e-sports bukanlah olahraga. Pada kesimpulannya dia mengatakan bahwa e-sports bukanlah olahraga karena mereka ‘manusia’ yang tidak memadai, mereka juga tidak memiliki kontak fisik langsung.
Gagal menerapkan kontrol pada seluruh tubuh, dan tidak dapat berkontribusi pada perkembangan seluruh manusia; dan disebabkan penciptaan, produksi, kepemilikan, dan promosinya menjadi kendala serius dalam melahirkan kelembagaan yang stabil dan teguh sebagai karakteristik dari tata kelola olahraga.
Dan game komputer kompetitif tidak memenuhi syarat sebagai olahraga, ianya hanya sekedar game komputer.
Untuk itu menjadi tepatlah jika kita mengatakan “Esports are not sports, they should be labelled something else” yang dapat kita maknai secara sederhana bahwa Esports bukanlah sebuah olahraga, mereka harus diberi label sesuatu yang lain. Sehingga tidak layak diperlombakan dalam pertandingan olahraga.
Aceh sebagai negeri bersyariat dengan segala kekhususannya haruslah menjadi garda terdepan dalam menjalankan segenap norma hukum yang telah ada, termasuk di dalamnya Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang di daerah lain disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai instrumen penting dalam pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh tercinta.
Bagaimana tidak, Fatwa MPU Aceh Nomor 01 Tahun 2016 yang di dalamnya disebutkan bahwa judi online adalah permainan yang memasang taruhan uang atau bentuk lain, melalui media internet dan media sosial hukumnya adalah haram.
Demikian juga Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa Hukum bermain game PUBG (Player Unknowns Battle Grounds) dan Sejenisnya adalah Haram.
Ini menjadi salah satu landasan hukum untuk tidak memasukkan Esport Indonesia (ESI) sebagai cabang olahraga (Cabor) baru anggota KONI Aceh.
Kami yakin atas komitmen yang tinggi KONI Aceh terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, maka pengurus KONI Aceh diharapkan bijak dalam menyikapi ini, dan segera memperbaiki kekeliruan yang ada, apalagi Aceh akan menjadi salah satu tuan rumah PON bersama Sumatera Utara pada Tahun 2024.
MPU telah mengingatkan
Terkait dengan hal di atas, MPU Aceh pada Jum’at, 4 Desember 2020 telah mengingatkan bahwa pada PON 2024 mendatang untuk tidak mempertandingkan Cabang Olahraga yang bertentangan dengan Syariat Islam di Aceh.
Hal ini disampaikan oleh Wakil ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, bahwa “Ke depan kita akan lebih besar tantangan terkait PUBG ini, karena ini sudah masuk ke dalam regulasi olahraga yang akan dipertandingkan, termasuk di PON Aceh.”
Peringatan ini beliau sampaikan pada saat menyerahkan secara simbolis stiker fatwa MPU Aceh tentang game online PUBG kepada ormas Islam di ruang rapat kantor Sekretariat MPU Aceh, kawasan Lampeuneureut, Aceh Besar, Jumat (4/12) pagi.
Pada kesempatan yang sama Abu Faisal Ali mengajak sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pendukung Fatwa (AMPF) MPU Aceh untuk bersama-sama bersilaturrahim dengan Ketua KONI.
Mengingat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) secara resmi mengakui E-Sports sebagai sebuah cabang olahraga prestasi di Indonesia.
Namun dengan kekhususan yang ada, harapannya tidak diselenggarakan di Aceh dengan merujuk pada Fatwa MPU Aceh yang telah melakukan kajian dan dengan pendapat bersama pakar IT, Psikolog dan Pakar Fiqh Islam secara mendalam saat sidang paripurna Ulama ke-III tahun 2019 silam.
Rekayasa Sosial
Untuk mengubah prilaku dan kebiasaan masyarakat salah satunya dapat dilakukan melalui rekayasa sosial, baik itu disadari maupun tanpa disadari oleh masyarakat atau komunitas tertentu tersebut.
Arah perubahan atau rekayasa sosial dimaksud dapat bernilai positif maupun negatif, dalam teori konspirasi hal ini menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.
Sebagai pengamat sosial kemasyarakatan, penulis memperhatikan secara seksama bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai dan lahirnya kebiasaan baru yang menghinggapi generasi muda Aceh secara khusus yang telah dilalaikan oleh game online dan bahkan cenderung mengarah pada judi online.
Pemandangan di warung kopi atau fasilitas publik lainnya di Aceh secara khusus, terutama yang ada fasilitas free Wi-Fi-nya menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Dimana interaksi sosial sudah mulai tergantikan dengan media sosial (untuk tidak menyebut game online), sunyi dalam keramaian, berteman dengan orang yang jauh dan menjauh dengan orang yang dekat.
Hal ini pada sebagian orang telah menyebabkan candu (ketagihan), dan ini tidak hanya dihinggapi oleh remaja saja tapi sudah lintas umur yang tidak mengenal usia dan jenis kelamin (anak-anak, remaja bahkan orang tua sekalipun).
Hal ini menarik jika kita merunut ke belakang sehingga lahirnya Fatwa MPU Aceh tahun 2019 yang didasari oleh pertimbangan bahwa haramnya permainan game PUBG dan yang sejenis dengannya, sebagai sebuah hasil kajian para pakar dan ahli, yang menyebutkan bahwa permainan game online tersebut dapat mengubah perilaku dan mengganggu kesehatan.
Termasuk diantaranya bahwa mereka yang kecanduan bermain game PUBG dan sejenisnya akan sangat mudah marah.
Anak-anak kalau dilarang oleh orangtua cepat marah dan melawan. Kalau sudah punya istri saat dilarang juga marah sama istrinya, sebagaimana disampaikan oleh Abu Faisal Ali. Yang kemudian beliau melanjutkan bahwa fatwa ini selanjutnya harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, orangtua dan penyedia jaringan internet.
Disadari atau tidak, jika Esport Indonesia (ESI) resmi menjadi cabang olahraga (Cabor) baru anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh, dan ikut diperlombakan pada PON tahun 2024 maka rekayasa sosial itu telah terjadi, dan akan semakin menyuburkan game online di Aceh yang berdampak pada generasi bangsa di masa yang akan datang.
Sebagai calon pemimpin bangsa yang akan menyambung estafet arah suatu bangsa, maka mungkin saja mereka terus dilalaikan dengan media sosial dan menjadi pemimpi dan penghayal sesuai dengan kebiasaan barunya sebagai online gamer (pemain game) di dunia nyata.
Kami yakin dan percaya, bahwa pemimpin kami pada segala level termasuk di KONI Aceh hari ini akan melakukan yang terbaik untuk generasi Aceh, juga akan menunjukkan keberpihakannya pada syariat Islam yang salah satunya adalah dengan mengikuti Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2019.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, peneliti pada PKPM Aceh dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry