Oleh : Mansur Syakban
TOLAK ukur suatu kebijakan tidak hanya dengan pendekatan landasan yuridis, namun dibutuhkan juga pendekatan filosofis, ekonomi dan sosial, politik dan psikologis yang terkadang terabaikan, padahal sangat penting dalam menganalisa apakah suatu kebijakan berpotensi membentuk norma perilaku sosial masyarakat yang buruk di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dengan tulisan ini, kami menggunakan pendekatan ekonomi dan sosial, serta juga pendekatan psikologis dalam melihat perilaku penyelenggaraan jasa konstruksi yang semakin jauh dari asas dan tujuan Undang-undang Jasa Konstruksi.
Secara garis besar, yang dimaksud Narsistik dalam judul ini adalah kondisi di mana sekumpulan orang, sekumpulan masyarakat atau bahkan sekumpulan entitas yang merasa keberadaan dirinya paling penting dan kekaguman berlebihan terhadap dirinya, namun menyebabkan kurangnya empati dan kepekaan terhadap permasalahan utama dan permasalahan dinamika yang terjadi.
Sedangkan Meritokrasi adalah merupakan suatu sistem tatanan pemerintahan yang mana suatu prestasi dihasilkan dari kompetensinya, kecerdasannya dan usahanya.
Dan yang dimaksud humanistik di sini adalah proses positif yang melibatkan peran aspek kognitif dan juga afektif dari diri masyarakat untuk memahami dirinya dan lingkungannya agar cepat atau lambat dapat mengaktualisasikan dirinya sebaik mungkin.
Berbagai permasalahan penyelenggaraan jasa konstruksi di Indonesia sampai dengan saat ini semakin jauh dari kualitas dan kuantitas keadilan, hak dan harapan masyarakat, khususnya masyarakat jasa konstruksi yang selama ini berhubungan langsung dengan rantai pasok konstruksi.
Norma yang berlandasakan pada asas dan tujuan dari Undang-undang Jasa konstruksi semakin jauh dari realita yang sebenarnya. Salah satu normanya adalah kejujuran dan keadilan serta manfaat penyelenggaraan jasa konstruksi semakin hilang.
Mengapa hal tersebut terjadi? Dimana dasar pikiran yang keliru dalam menerapkan metode dan sistemnya? Untuk apa metode yang sistematis itu dipertahankan apabila konsep dasarnya keliru?
Pengamatan terhadap peristiwa triliunan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang judulnya pembinaan, pencetakan sertifikat, registrasi, peningkatan kapasitas LSBU dan LSP, dan lainnya yang dianggap keberhasilan meritokrasi, yang justru berbanding terbalik dengan sekelumit permasalahan mendasar di dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
Secara eksistensi maka Kementerian PUPR yang memiliki kewenangan dan keuangan besar dianggap mumpuni menata tata kelola internalnya, namun terhadap realitas pemasalahan penyelenggaraan jasa konstruksi seperti kehilangan arah dan tujuan, tidak tepat sasaran, masih memegang kendali konsep yang lama namun yang pasti hilang arah, tidak ideal dan tidak berkelanjutan.
Tidak ada konsep ideal baru yang mampu menangkap asas dan tujuan didalam Undang-undang jasa konstruksi. Seolah mencari wilayah aman dalam deontologi dan eksistensi, namun kosong dalam wilayah esensi dan konsekuensi menghadapi berbagai permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
Apabila kita tinjau dari perkembangan perusahaan konstruksi di dunia, maka perusahaan-perusahaan konstruksi lebih mengedepankan profesionalitas karena seluruh dunia mengawasi kinerjanya di dalam stock exchange.
Sistem administrasi untuk memperkuat aktualisasi perusahaan, bukan justru mempersulit apalagi menghambat.
Salah satu contoh Constructing Excellence Organization di Inggris yang bertujuan meningkatkan kinerja konstruksi guna menghasilkan lingkungan binaan yang lebih baik, mengembangkan seperangkat indikator kinerja dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok utama, yaitu perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan (Constructing Excellence, 2009).
Mengklasifikasikan indikator kinerja ke dalam perspektif fungsional, operasional, dan profesional. Dan ada juga Institut Industri Konstruksi (CII) Amerika Serikat dengan mengukur indikator keberhasilan perusahaan konstruksi dari Biaya, jadwal, perubahan, Kecelakaan, pengerjaan ulang dan produktivitas perusahaan konstruksi.
Dan ada juga indikator kunci untuk mengevaluasi kinerja perusahaan konstruksi dengan klasifikasi indikator utama disebabkan oleh pentingnya mematuhi langkah-langkah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja dan dampaknya yang signifikan dalam mengurangi tingkat cedera dan kerugian perusahaan dan krunya yang menduduki peringkat ke-2 sebagai indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan konstruksi, dengan indeks relatif penting sama dengan (81,7%) yang dipantau secara ketat oleh seluruh masyarakat dunia di dalam stock exchange (bursa efek).
Sistem tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang demikian lebih didominasi dalam sistem plutokrasi namun melibatkan seluruh masyarakat di dunia dalam mengawasi kinerja perusahaan.
Meskipun plutokrasi yang bersifat kapitalis tersebut diberlakukan namun narsistik perusahaan konstruksi dapat dikendalikan oleh humanistik masyarakat di seluruh dunia.
Namun berbeda halnya dengan pengukuran kinerja perusahaan konstruksi yang diberlakukan di Indonesia, yang mana pengaturan pengukuran kinerja tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PUPR.
Fenomena pengaturan tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi lebih mengedepankan dan memperbanyak hirarki pengaturan teknis yang patut dipertanyakan dampak konsekuensinya terhadap seluruh permasalahan konstruksi yang selama ini terjadi, aktualisasi perusahaan konstruksi hanya diukur dengan deontologi administrasi tanpa memikirkan konsekuensi kinerja yang diawasi oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Semakin banyaknya permasalahan konstruksi di negeri ini seperti rendahnya profesionalitas perusahaan bahkan setingkat BUMN, banyaknya kegagalan bangunan, banyaknya korupsi dan suap menyuap, banyaknya kematian akibat kecelakaan kerja, banyaknya administrasi yang harus ditempuh sehingga menstimulus perilaku transaksional untuk mempercepat administrasi.
Gambaran meritoktrasi di dalam tatanan hirarki pengaturan jasa konstruksi diukur dengan prestasi banyaknya aturan yang dibuat oleh pejabat Kementerian PUPR tanpa berbasis pada konsekuensi prestasi kinerja yang tepat sasaran pada struktur andal perusahaan konstruksi yang diminati dan diakui oleh masyarakat Indonesia.
Fenomena narsistik meritokrasi lebih dominan besar karena tidak adanya pengendalian oleh humanistik dari masyarakat baik di Indonesia apalagi internasional.
Sedikit sekali struktur usaha perusahaan konstruksi swasta yang telah berkontrak dengan pemerintah untuk masuk dalam stock exchage (bursa efek) kecuali perusahaan konstruksi BUMN.
Sudah saatnya metode dan sistem yang akan dibuat berlandasakan pada restorasi norma asas dan tujuan penyelenggaraan jasa konstruksi didalam Undang-undang Jasa Konstruksi.
Membuka pikiran, ide gagasan baru dan menumbuhkan kepercayaan publik serta mengikutsertakan pengendalian dari aktualisasi masyarakat dalam bursa efek untuk perusahaan konstruksi yang memiliki kinerja sudah saatnya menjadi agenda besar pemerintah.
Meredam narsistik meritokrasi dengan melibatkan humanistik adalah solusi dari permasalahan carut marutnya pikiran jasa konstruksi tanpa arah dan tujuan.
*Penulis Mansur Syakban, Sekjen Asosiasi Kontraktor Aceh (AKA)