Fenomena Narsistik Meritokrasi dan Carut Marutnya Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Indonesia
Dan ada juga indikator kunci untuk mengevaluasi kinerja perusahaan konstruksi dengan klasifikasi indikator utama disebabkan oleh pentingnya mematuhi langkah-langkah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja dan dampaknya yang signifikan dalam mengurangi tingkat cedera dan kerugian perusahaan dan krunya yang menduduki peringkat ke-2 sebagai indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan konstruksi, dengan indeks relatif penting sama dengan (81,7%) yang dipantau secara ketat oleh seluruh masyarakat dunia di dalam stock exchange (bursa efek).
Sistem tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang demikian lebih didominasi dalam sistem plutokrasi namun melibatkan seluruh masyarakat di dunia dalam mengawasi kinerja perusahaan.
Meskipun plutokrasi yang bersifat kapitalis tersebut diberlakukan namun narsistik perusahaan konstruksi dapat dikendalikan oleh humanistik masyarakat di seluruh dunia.
Namun berbeda halnya dengan pengukuran kinerja perusahaan konstruksi yang diberlakukan di Indonesia, yang mana pengaturan pengukuran kinerja tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PUPR.
Fenomena pengaturan tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi lebih mengedepankan dan memperbanyak hirarki pengaturan teknis yang patut dipertanyakan dampak konsekuensinya terhadap seluruh permasalahan konstruksi yang selama ini terjadi, aktualisasi perusahaan konstruksi hanya diukur dengan deontologi administrasi tanpa memikirkan konsekuensi kinerja yang diawasi oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Semakin banyaknya permasalahan konstruksi di negeri ini seperti rendahnya profesionalitas perusahaan bahkan setingkat BUMN, banyaknya kegagalan bangunan, banyaknya korupsi dan suap menyuap, banyaknya kematian akibat kecelakaan kerja, banyaknya administrasi yang harus ditempuh sehingga menstimulus perilaku transaksional untuk mempercepat administrasi.
Gambaran meritoktrasi di dalam tatanan hirarki pengaturan jasa konstruksi diukur dengan prestasi banyaknya aturan yang dibuat oleh pejabat Kementerian PUPR tanpa berbasis pada konsekuensi prestasi kinerja yang tepat sasaran pada struktur andal perusahaan konstruksi yang diminati dan diakui oleh masyarakat Indonesia.