Oleh: Imam Shamsi Ali*
Di malam itu Rasulullah SAW berada di rumah sepupunya, Fakhita binti Abi Thalib, yang merupakan kakak dari dua sahabat yang terkenal, yaitu Ali dan Ja’far bin Abi Thalib. Fakhita juga dikenal dengan gelar “Ummu Hani”.
Diantara tidur dan terjaga Rasulullah didatangi oleh Jibril, diajak ke masjidil haram. Di sanalah dada beliau dibelah, lalu dibersihkan dengan air zamzam. Lalu terjadilah perjalanan suci itu dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Life is a Journey
Jika kita renungi peristiwa itu akan nampak jelas bahwa perjalanan itu adalah penggambaran dari kehidupan manusia itu sendiri. Bahwa hidup manusia sesungguhnya adalah sebuah perjalanan (a journey) dari sebuah titik poin menuju kepada titik poin yang sama.
Perjalanan hidup itu yang kerap terekspresi di saat seseorang meninggal dunia: “Innalillahi wainna ilaihi rajiun”. Bahwasanya manusia itu berasal dari Allah dan akhirnya di akhir perjalanan (hidupnya) dia akan kembali kepada-Nya.
Pada perjalanan Isra’ Mi’raj itu sebagai simbolisasi perjalanan hidup manusia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara dekat.
Pertama, dibersihkannya hati Rasulullah SAW dengan air zamzam.
Kedua, perjalanan dari masjid (al-haram) menuju masjid (al-Aqsa).
Ketiga, perjalanan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha.
Ketiga hal itu terwakili atau tersimbolkan dalam proses perjalanan malam (Isra’ Mi’raj) Rasulullah SAW. Menunjukkan bahwa peristiwa Isra Mi’raj memang merupakan simbolisasi perjalanan hidup manusia secara menyeluruh.
Fitrah adalah jati diri hidup
Seperti yang disebutkan di atas bahwa sebelum memulai perjalanan malam itu Jibril membelah dada baginda Rasulullah SAW dan membersihkannya dengan air Zamzam. Mengindikasikan bahwa perjalanan suci itu harus dimulai dengan kefitrahan dan hati yang bersih.
Sesungguhnya hidup manusia secara totalitas juga demikian. Untuk efektifitas dan bernilai tambah, manusia dalam hidupnya harus menjaga kebersihan hatinya. Manusia harus menjaga fitrahnya.
Fitrah itu sendiri menjadi jatidiri sekaligus fondasi hidupnya yang sejati. Ketika manusia masih menjaga fitrahnya maka hidupnya akan tetap berada di jalur yang benar (on the right track). Tapi ketika fitrah tersembunyi oleh ragam kotoran dunia, hidup manusia akan menjadi kotor pula.
Gambaran itu kemudian disimpulkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu baik maka baiklah seluruh anggota tubuhnya. Tapi jika segumpal darah itu rusak maka rusaklak seluruh anggota tubuhnya. Itu hati”.
Dengan demikian pembersihan hati Rasulullah sebelum memulai perjalanan merupakan simbolisasi dari urgensi menjaga fitrah dan kesucian hati dalam menjalani kehidupan manusia. Berbagai penyakit dalam hidup manusia terjadi karena hati yang kurang sehat.
Dari masjid ke masjid
Tujuan perjalanan Rasul ini adalah ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat. Sejatinya perjalanan ini akan lebih logis dan praktis langsung dari masjidil haram ke Sidratul Muntaha. Tapi kenapa harus dari masjid ke masjid?
Kita sesungguhnya diingatkan bahwa hidup ini adalah perjalanan suci, perjalanan ibadah. Bahwa kita hadir di atas bumi ini tidak lain untuk melakukan pengabdian kita kepada pencipta langit dan bumi. Al-Qur’an menegaskan: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Oleh karena keberadaan kita di alam ini untuk beribadah maka seluruh detak nadi dan pergerakan kehidupan yang kita lakukan adalah ibadah.
Di sinilah kita lihat relevansinya kenapa masjid. Karena masjid itu berarti tempat sujud. Dan kata sujud dalam definisi Al-Quran itu artinya ketaatan, yang tentu diekspresikan dalam “ibadah” atau pengabdian.
Maka perjalan Isra’ dari masjid ke masjid (masjidil haram ke masjidl aqsa) menyimbolkan pergerakan hidup dari ibadah atau taat ke ibadah atau taat yang lain. Kapan dan dimana saja seorang mukmin itu hanya bergerak dari masjid ke masjid, dari ibadah yang satu ke ibadah lainnya.
Ayat tentang Jumatan misalnya kental dengan penggambaran ini: “Wahai orang-orang beriman, jika panggilan shalat dikumandangkan pada hari Jumat maka bergegaslah kalian ke “dzikrullah” (mengingat Allah)…..”.
Lalu ayat selanjutnya mengatakan: “Jika shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di atas bumi dan carilah keutamaan (rezeki) Allah dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak…”.
Kedua ayat itu menggambarkan bagaimana sejatinya tabiat kehidupan manusia. Bahwa hidup ini tidak lain adalah perpindahan dari ibadah/taat kepada ibadah/taat yang lain.
Inilah sesungguhnya makna berjalan dari masjid ke masjid. Dari sebuah tempat sujud ke tempat sujud yang lain.
Perjalanan vertikal dan horizontal
Setelah melalui perjalanan dari masjidil haram ke masjidil Aqsa, Rasulullah pun melanjutkan perjalanan itu ke atas (vertikal). Hal ini menguatkan bahwa hidup manusia itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan. Sisi vertikal dan sisi horizontal.
Dalam bahasa Al-Quran kedua aspek hidup manusia ini diistilahkan “Hablun minallah wa hablun minan naas”.
Kedua aspek kehidupan ini saling terkait. Keduanya penting dan saling mengikat. Keislaman seseorang tidak berarti jika yang menjadi perhatian hanya satu sisi hidup. Seorang Muslim tidak bernilai ketika shalat tapi terus melakukan kejahatan kepada sesama. Sebaliknya juga demikian.
Shalat dalam Islam misalnya hanya akan sah dan diterima ketika dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Takbir adalah simbolisasi komitmen vertikal hidup. Sementara salam adalah simbolisasi aspek horizontalnya.
Demikianlah seterusnya, hendaknya dalam menjalani hidup ini seorang mukmin akan memperhatikan kedua aspek relasi hidup (vertikal dan horizontal) secara imbang. Taat kepada Allah itu harusnya diartikan juga dengan “kind to others” (baik kepada sesama manusia dan makhluk Allah lainnya).
Dengan demikian perjalanan Isra Mi’raj sesungguhnya merupakan penggambaran perjalanan hidup manusia secara totalitàs, apa saja yang menjadi dasar dan tuntutan dalam menjalani hidupnya secara baik dan efektif.
Teruskan perjalanan. Tapi jangan lupa jaga kefitrahan dan kesucian hati Anda! (Bersambung…)
New York, 13 Maret 2021
*Presiden Nusantara Foundation