Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
Dalam sejarah kehidupan manusia ragam peristiwa yang terjadi dari masa ke masa kerap kali berulang dalam bentuk yang sama atau beda, namun tidak jarang memiliki makna dan tujuan yang sama.
Salah satu hal yang kita lihat sering terjadi dan terulang dalam sejarah manusia adalah hiruk pikuk, atau ungkapan yang lebih positif, dinamika politik yang terjadi dalam sebuah bangsa.
Dinamika itu kerap kali menggoncang stabilitàs nasional bangsa tersebut. Tapi tidak jarang juga membawa kepada sebuah perubahan positif. Dengan dinamika yang terjadi para stakeholder menyadari urgensi untuk melakukan perubahan.
Dalam sejarah, ada satu hal yang sering terjadi dan hampir pada semua bangsa. Hal ini saya akan sebut sebagai “kepanikan kekuasaan”. Seringkali mereka yang berada di posisi kekuasaan merasa terancam, dan karenanya mengalami kepanikan.
Kepanikan inilah yang biasanya menjadikan mereka yang berada di posisi kekuasaan itu mengambil sikap atau tindakan, yang tidak saja menekan lawan politiknya. Justeru kebijakan itu biasanya bertentangan dengan kepentingan rakyat luas, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang secara konsensus diterima sebagai pijakan bersama.
Sebelum saya menyampaikan nilai-nilai yang dimaksud, saya ingin menyampaikan bahwa Al-Quran penuh dengan contoh-contoh kepanikan penguasa sepanjang sejarah manusia.
Dari zaman Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa, Isa AS, hingga ke zaman “khataman nabiyyin” (penutup nabi-nabi), Muhammad SAW.
Pada umumnya dipahami bahwa penentangan pembesar-pembesar di zaman para nabi itu karena alasan keagamaan. Pemahaman ini boleh benar, tapi boleh jadi juga tidak benar.
Ambillah sebagai misal kekejaman Fir’aun kepada Bani Israel, dan resistensinya kepada Musa AS.
Dalam sejarah yang disampaikan oleh Al-Quran, awal pembasmian anak-anak lelaki dari kalangan Bani Israel karena kekhawatiran terhadap ancaman kekuasaannya.
Maka walaupun kita ketahui bahwa resistensi itu tidak bisa dipisahkan dari dakwah nabi Musa AS kepada Tauhid. Artinya di sini aspek agama kemudian menjadi alasan.
Tapi dengan melihat kepada asal awal dari kebencian itu adalah karena panik kekuasaan tadi.
Di sinilah kemudian dipahami bahwa konteks penentangan kepada Dakwah Tauhid tidak selalu murni karena alasan agama. Justeru Tauhid karena Tauhid dianggap ancaman terhadap kekuasaan itu sendiri.
Dengan Tauhid mereka yang diktator dan merasa berkuasa mutlak merasa terganggu atau terancam. Sebab Tauhid mengajarkan kesetaraan manusia. Bahwa kekuasaan adalah amanah yang diberikan kepada penguasa untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepada rakyat.
Dari semua di atas jelas bahwa berbagai sikap dan kebijakan yang mereka lakukan untuk menghalangi perkembangan dakwah para Rasul Allah tidak bisa dilepaskan dari apa yang saya sebutkan sebagai kepanikan kekuasaan”.
Penguasa akan melakukan berbagai cara untuk meredam apa yang dianggap ancaman kepada kekuasaannya. Dari yang halus, intimidatif, hingga kepada kekerasan terbuka.
Ambillah sebagai contoh Raja Namrud di zaman Nabi Ibrahim AS. Pembelaan kepada kekuasaannya, yang diekspresikan dengan “wanshuruu aalihatakum” (tolong tuhan-tuhan kalian) itu pada akhirnya memakai kekerasan dengan melempar Ibrahim AS ke dalam api.
Kepanikan kekuasaan seperti ini terjadi sepanjang sejarah manusia. Tidak mustahil juga di masa kini. Di banyak negara dengan mudah kita bisa mengidentifikasi kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan.
Tentu hal itu akan terlihat dalam sikap dan kebijakan penguasa dalam menyikapi mereka yang menginginkan perubahan dan perbaikan.
Self contradictory
Satu hal yang juga memalukan (shamefulness) dalam situasi kepanikan itu adalah sering terjadi prilaku paradoks. Saya menyebutnya “self contradictory”. Yaitu sebuah sikap yang kontra antara pengakuan dan prilaku terhadap nilai-nilai yang dianggap sebagai pijakan bersama.
Ambillah sebagai misal konsep demokrasi. Dalam tatanan negara demokrasi pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi sesungguhnya ada di tangan rakyat. Dan rakyat memiliki hak untuk mengoreksi pemerintah dan kebijakannya.
Tapi bagi penguasa yang mengalami kepanikan koreksi atau kritikan masyarakat akan dilihat sebagai ancaman. Dan karenanya kritikan itu akan dihadapi dengan cara-cara yang justeru paradoksikal (berlawanan) dengan demokrasi itu sendiri.
Mereka yang dianggap ancaman akan dihalang-halangi, diintimidasi, bahkan dilakukan kekerasan agar gagal atau terhenti dalam upayanya untuk mengoreksi kekuasaan tersebut.
Berbagai aturan atau perundang-undangan juga sering dipaksakan untuk tujuan meredam apa yang menjadikan kekuasaan itu panik. Kebebasan ekspresi sebagai bagian esensial dari Demokrasi juga tidak jarang terlucuti karena kepanikan para penguasa.
Tanpa mengingkari adanya pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh, pada umumnya mereka yang melakukan koreksi terhadap kekuasaan itu adalah mereka yang punya keinginan tulus untuk melihat bangsa/negaranya menjadi lebih baik.
Atau mungkin dalam bahasa Nabi Saleh AS: “In uriida illa al-ishlaah” (saya tidak menginginkan kecuali kebaikan/perubahan saja).
Tapi begitulah ketika sebuah kekuasaan mengalami kepanikan, berbagai asumsi akan dibangun. Bahkan tidak jarang juga berbagai teori diciptakan sebagai justifikasi untuk meredam usaha-usaha perbaikan (Ishlaah) itu.
Salah satu teori yang sering kita dengarkan adalah bahwa mereka yang mengeritik penguasa itu melakukan “kekisruhan” atau “perpecahan” di tengah masyarakat. Untuk membenarkan teori itu biasanya secara misterius tiba-tiba terbentuk kelompok lain. Kedua kelompok inipun saling berhadapan.
Kekisruhan antara dua kelompok yang berseberangan itu kemudian menjadi pembenaran bagi kekuasaan yang panik untuk meredam mereka yang dianggap ancaman.
Tidak jarang bahkan berujung kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap ancaman itu.
Itulah bentuk kepanikan kekuasaan yang perlu kita waspadai. Jangan-jangan peristiwa di bangsa-bangsa masa lalu itu kembali menjangkiti banyak bangsa hari ini. Semoga tidak!
New York, 5 Oktober 2020
- Diaspora Indonesia di Kota New York AS