Oleh: Alif Alqausar*
Tahapan Pilkada 2024 memasuki masa tenang. Selama tiga hari, Ahad-Selasa (24-26 November 2024), kontestan ataupun tim pemenangan dilarang berkampanye.
Menjelang pemilihan kepala daerah serentak, antusiasme publik terlihat di sejumlah daerah. Antusiasme ini berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos calon pemimpin daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Bagi para kontestan, masa tenang cenderung menjadi masa paling menegangkan karena dalam waktu kurang dari tiga hari, tahapan Pilkada akan mencapai puncaknya.
Pemilih akan menentukan pemimpin yang akan menjadi kepala/wakil kepala daerah periode lima tahun mendatang.
Untuk pemilih, masa tenang adalah saat untuk merenungkan pilihannya sebelum mencoblos. Pemilih dapat menggunakan kesempatan ini untuk merefleksikan kandidat yang dianggap terbaik di antara para kandidat lainnya.
Memasuki masa tenang, masyarakat sudah akrab dengan istilah “serangan fajar”. Istilah ini mengacu pada fenomena politik uang yang digunakan tim pemenangan untuk memengaruhi pilihan akhir pemilih dengan iming-iming uang.
Sejak lama, politik uang menjadi momok menakutkan dalam kompetisi politik elektoral, baik pada pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun Pilkada.
Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, semua kontestan politik bisa dipastikan familiar dengan penggunaan uang sebagai alat untuk memenangi pertarungan.
Hasil analisis Indeks Kerawanan Pemilu 2024 (IKP 2024) oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan bahwa isu politik uang selalu masuk dalam kategori kasus paling rentan terjadi.
Dilihat dari rekam jejak indeks kerawanan sejak Pemilu 2014, Pilkada 2015, Pilkada 2018, hingga Pemilu 2019, isu politik uang menjadi pelanggaran yang paling banyak dilaporkan.
Merujuk data dari Bawaslu, pada Pilkada 2018 tercatat ada 22 kasus politik uang yang diputuskan pengadilan. Sementara itu, pada Pemilu 2019 angkanya meningkat menjadi 82 kasus. Politik uang juga tetap menjadi isu besar saat Pilkada 2020.
Menariknya, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaporan politik uang di Pilkada 2020 tergolong tinggi. Bawaslu mencatat bahwa data penanganan dugaan pelanggaran politik uang sebanyak 262 kasus telah mencapai tahap pengkajian dan penyidikan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 197 kasus merupakan laporan masyarakat, sementara 65 kasus lainnya merupakan temuan Bawaslu.
Indeks Kerawanan Pemilihan Umum 2024 pada Pilpres dan Pileg juga menunjukkan praktik politik uang menjadi kasus yang paling banyak terjadi dan dilaporkan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, dengan berbagai modus.
Tak dapat dimungkiri, politik uang dianggap sebagai jalan pintas yang efektif untuk memengaruhi pilihan pemilih demi mendapatkan kekuasaan. Mirisnya, godaan praktik kotor ini kerap dinilai sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Apapun bentuknya, politik uang diharamkan dalam aturan pemilu karena terbukti merusak kompetisi yang sehat, mendistorsi pilihan politik, dan menjadi racun bagi demokrasi.
Berdasarkan Pasal 187A Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemberi dan penerima politik uang dapat dijerat dengan sanksi pidana.
Sanksi tersebut berupa pidana antara tiga hingga enam tahun serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Sejumlah pengamat menilai politik uang telah menjadi fenomena sosial, budaya, dan politik yang memiliki implikasi serius terhadap moralitas masyarakat, pragmatisme dalam kehidupan berbangsa, serta rendahnya kualitas demokrasi.
Politik uang memiliki daya rusak yang menghancurkan alam pikiran masyarakat, yang seharusnya menggunakan akal sehat saat menentukan pilihan.
Praktik politik uang jelas menjadi ancaman serius bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi, karena menghilangkan esensi keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat.
Normalisasi terhadap praktik politik uang, termasuk transaksi jual-beli suara (vote buying), menjadi penyebab korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan peluruhan kedaulatan rakyat.
Karena itu, kampanye antipolitik uang perlu digencarkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dan menegakkan kembali nilai-nilai demokrasi yang ditopang oleh keadilan dan kejujuran.
*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry