Oleh: Imam Shamsi Ali Al-Kajangi
Pada galibnya ketika kita membahas kepemimpinan dalam Islam, kita mengutip Surah As-Sajadah atau empat karakter kepemimpinan yang masyhur itu (Amanah, Fathanah, Shiddiq dan Tablig). Kedua landasan itu sangat penting dan mendasar.
Ternyata di Surah Al-Ambiya ayat 73 Allah juga menyampaikan beberapa karakter pemimpi Islam yang lebih rinci dan lengkap. Allah berfirman:
وَجَعَلْنٰهُمْ اَئِمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَ مْرِنَا وَاَ وْحَيْنَاۤ اِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرٰتِ وَاِ قَا مَ الصَّلٰوةِ وَاِ يْتَآءَ الزَّكٰوةِ ۚ وَكَا نُوْا لَـنَا عٰبِدِيْنَ
“Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.”
Pada ayat ini Allah dengan tegas menggariskan, untuk menjadi pemimpin dalam Islam ada lima hal mendasar yang harus diperhatikan dan dipastikan untuk diikuti secara sungguh-sungguh.
Baik di surah as-Sajadah maupun di surah Al-Ambiya ini keduanya mengingatkan “Kami (Allah) jadikan mereka pemimpin”. Artinya hal pertama yang harus diingat oleh para pemimpin adalah bahwa kepemimpinan yang saat ini ada di tangannya adalah titipan/amanah Allah SWT. Dialah yang menentukan siapa yang diberi kekuasan itu. Tanggung jawab (calon) pemimpin adalah melalui proses-prosesnya dengan baik dan benar. Sebab dia sedang berada di hadapan (ujian) Allah SWT.
Kelima hal mendasar pemimpin dalam Islam harus sadari dan miliki adalah:
Satu, bahwa pemimpin dalam Islam itu “memberi petunjuk dengan perintah Allah”. Kata memberi petunjuk memaknai banyak hal. Di antaranya pemimpin itu punya otoritas dan kemampuan untuk memberi petunjuk dengan perintah Allah. Karena petunjuknya harus dengan perintah Allah maka agama menjadi sangat esensial dalam pemerintahannya.
Hal ini juga mengindikasikan pemimpin dalam Islam itu harus tahu dan memiliki komitmen keagamaan yang tinggi.
Dua, pemimpin dalam Islam itu akan selalu terinspirasi oleh nilai-nilai samawi untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Bukan mencari atau menunggu kebaikan. Tapi melakukan (fi’il) kebaikan-kebaikan.
Pemimpin dalam Islam pantang melakukan kejahatan, termasuk mengedepankan kepentingan keluarga dan konco-konconya dengan mengorbankan kepentingan umum dengan manipulasi-manipulasi, termasuk manipulasi aturan.
Tiga, pemimpin dalam Islam itu memiliki komitmen “menegakkan Shalat”. Bukan pemimpin yang tidak peduli Shalat, bahkan boleh jadi tidak tahu shalat. Shalat menjadi sangat mendasar karena Shalat adalah tiang agama.
Dan agama yang kita maksud di sini adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan tanpa sholat adalah kehidupan yang rapuh. Shalat juga menjadi simbol “komitmen vertikal” seorang Muslim kepada Penciptanya.
Empat, pemimpin dalam Islam itu memiliki komitmen untuk mengeluarkan zakat. Memberikan Zakat itu dimaknai sebagai karakter seorang Muslim yang peduli sosial. Namun kepedulian sosial ini bukan sekedar bagi-bagi sembako sebagai alat kampanye.
Tapi komitmen pemimpin untuk membersihkan jiwa (tazkiyah) dari prilaku ketamakan dan kerakusan. Korupsi seringkali terjadi karena minimnya komitmen zakat; pembersihan jiwa dan kepedulian sosial. Yang terjadi adalah kerakusan dan tendensi egoistik dari para pemimpin.
Lima, pemimpin Islam itu menjadikan Allah sebagai “sentra” pengabdiannya. Pemimpin adalah “abd” (pengabdi) dalam konotasi vertikalnya. Tapi dalam konotasi horizontalnya pemimpin adalah “khadim” (pelayan) masyarakat. Oleh Karenanya akhir ayat ini menekankan dua hal itu.
Bahwa secara vertikal seorang pemimpin adalah ahli ibadah. Tapi secara horizontal seorang pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya. Bukan mengharapkan pelayanan dari masyarakatnya.
Demikian lima hal mendasar yang harus dimiliki/diwujudkan oleh pemimpin dalam perspektif Islam. Satu hal yang menyimpulkan kelima hal di atas adalah bahwa Allah menjadi pusat segala yang terkait dengan tanggung jawab kepemimpinannya.
Maka semua proses yang terjadi menuju kepada posisi itu, dalam implementasi tanggung
Jawabnya, hingga kepada orientasi (tujuan) kepemimpinannya, sang pemimpin tidak boleh terlepas dari nilai-nilai keilahian.
Karenanya manipulasi-manipulasi dan penghalalan segala cara bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah.
Semoga Allah mengarunia bangsa Indonesia pemimpin yang sadar dengan nilai-nilai Ilahiyah. Sehingga kepemimpinannya betul-betul menjadi jalan bagi terwujudnya “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Aminkan aja dulu!