Oleh: Teuku Farhan*
Aceh dengan status otonomi khusus yang menerapkan syariat Islam, memiliki potensi besar untuk menjadi teladan dalam mengelola ruang digital berbasis syariat.
Di era digitalisasi saat ini, tata kelola ruang digital yang berlandaskan nilai-nilai lokal sangat penting dalam membentuk masyarakat sejahtera, cerdas dan berdaya saing tinggi.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan Aceh masih menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam hal kemiskinan dan pengangguran yang belum tertangani dengan optimal.
Salah satu faktor yang menghambat pengentasan kemiskinan di Aceh adalah minimnya pemberdayaan masyarakat, khususnya di sektor teknologi informasi.
Qanun Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pemberdayaan Masyarakat di bidang teknologi informasi sebenarnya memiliki visi sangat baik, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola teknologi informasi.
Namun, dalam praktiknya, implementasi qanun ini masih jauh dari harapan. Edukasi digital yang minim, tingginya akses terhadap konten negatif, dan kurangnya pengawasan terhadap ruang digital menjadi masalah utama yang dihadapi masyarakat. Negara seakan tidak hadir dalam mengatasi masalah ini.
Lebih dari itu, permasalahan penyalahgunaan anggaran publik di sektor ini menjadi tantangan besar. Program-program digitalisasi yang diinisiasi pemerintah sering kali tidak melibatkan komunitas lokal yang sebenarnya memiliki potensi besar dalam berinovasi.
Alih-alih memberdayakan, masyarakat sering kali justru tidak mendapatkan manfaat dari program-program ini. Karena itu, kolaborasi yang lebih efektif antara pemerintah dan komunitas digital sangat diperlukan agar kebijakan yang diterapkan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks tata kelola ruang digital, Aceh menghadapi tantangan serius dengan maraknya judi online, konten negatif dan minimnya pengawasan konten.
Padahal, Qanun No. 2 Tahun 2006 menyebutkan dengan tegas bahwa konten yang bertentangan dengan syariat Islam tidak dibenarkan di ruang digital.
Namun, mekanisme kontrol terhadap konten negatif ini belum berjalan secara efektif.
Pengawasan yang lebih ketat dan penerapan sanksi yang jelas bagi penyedia layanan internet (ISP) serta platform yang melanggar aturan syariat sangat diperlukan.
Aceh memiliki potensi besar dalam memanfaatkan teknologi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, khususnya melalui sektor ekonomi digital apalagi jika diintegrasikan dengan sektor unggulan Aceh di bidang pertanian.
Komunitas digital Aceh telah membuktikan kemampuannya dengan berbagai inovasi yang berhasil meraih pengakuan di tingkat nasional. Namun, sinergi antara pemerintah dan komunitas ini masih belum optimal.
Pemerintah sering kali menjalankan program tanpa melibatkan komunitas yang sebenarnya lebih memahami dinamika lokal, sehingga banyak program yang tidak tepat sasaran dan tidak berkelanjutan.
Kebijakan Pemberdayaan dan Pemanfaatan Teknologi untuk Kesejahteraan
Ruang digital seharusnya menjadi sarana pemberdayaan masyarakat, terutama dalam membuka peluang ekonomi baru, meningkatkan literasi teknologi, dan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, tanpa pengelolaan yang baik, ruang digital bisa menjadi ancaman, seperti yang kita lihat dari maraknya perjudian online dan akses mudah terhadap konten negatif yang merusak moral masyarakat, terutama generasi muda.
Karena itu, Qanun Tata Kelola Ruang Digital berbasis syariat Islam dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat dibutuhkan.
Mengapa Aceh Membutuhkan Qanun Tata Kelola Ruang Digital?
Aceh harus segera menyusun dan menerapkan Qanun Tata Kelola Ruang Digital yang berfokus pada beberapa poin strategis:
1. Regulasi Konten: setiap konten yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti perjudian, pornografi, dan ujaran kebencian, harus diawasi dan diblokir dengan ketat.
Pengawasan ini harus dilakukan oleh lembaga yang profesional dan independen.
2. Pemberdayaan masyarakat: Teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya generasi muda, melalui program pelatihan, pendidikan digital, dan inkubasi bisnis berbasis teknologi.
3. Pengawasan ISP: penyedia layanan internet harus diwajibkan untuk mematuhi aturan terkait Syariat Islam, dan setiap pelanggaran harus dikenakan sanksi tegas.
4. Pengembangan Ekonomi Digital: Pemerintah Aceh harus mendukung UMKM berbasis digital melalui platform e-commerce lokal, layanan publik digital yang efesien, teruji bukan asal jadi, dan platform edukasi digital yang mendukung nilai-nilai syariat.
5. Peran Aktif Masyarakat: Masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan ruang digital, dan laporan dari masyarakat terkait konten negatif harus ditindaklanjuti dengan gerak cepat (gercep) dan transparan.
Menuju Aceh yang Mandiri dan Berdaya
Aceh memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemimpin dalam tata kelola ruang digital yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan syariat Islam.
Untuk mencapai hal ini, diperlukan langkah-langkah strategis dan dukungan penuh dari semua pihak, termasuk ulama, komunitas digital, dan masyarakat luas.
Dengan regulasi yang tepat dan komitmen kuat, ruang digital dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan, membuka lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Qanun Tata Kelola Ruang Digital yang diusulkan ini mendorong kembali tujuan bernegara yakni pemerintah berkewajiban melindungi warga dari ancaman apapun termasuk dampak negatif di ruang digital dan memberdayakan masyarakat dengan berbagai peluang baru bagi Aceh apalagi kini dunia telah masuk ke dalam fase baru teknologi kecerdasan buatan.
Dengan kebijakan tepat, Aceh dapat melindungi warga dari ancaman dalam jaringan, memutus rantai kemiskinan dan pengangguran yang selama ini membelenggu, serta menjadikan ruang digital sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi Teknologi