Penjajahan “Ormas” Zionis Israel atas negara Palestina telah lama menjadi isu global yang kompleks, namun dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan pergeseran signifikan dalam cara dunia memandang konflik ini.
Menyebut kelompok zionis Israel sebagai organisasi masyarakat (ormas) lebih tepat dan sesuai pada tempatnya dibanding menyebut mereka sebagai “negara” karena mereka sendiri sesungguhnya bangsa yang tidak memiliki negara, hidup berpencar bahkan ditolak oleh bangsanya sendiri untuk mendirikan negara sehingga lebih bijak jika kelompok “teroris” zionis ini disebut sebagai ormas global terorganisir dan tidak layak disebut negara, meski ada segelintir negara mengakui kepalsuan ini.
Data terbaru sejak ormas zionis melakukan genosida di Gaza, Negara Palestina Merdeka menunjukkan bahwa narasi pro-Palestina mendominasi platform media sosial dan opini publik global, menandai era baru dalam diplomasi digital dan aktivisme online.
Sejak 7 Oktober 2023, mesin propaganda Israel, Hasbara, tampaknya kewalahan menghadapi gelombang dukungan masif untuk Palestina di dunia maya.
Angka-angka yang mencengangkan muncul dari berbagai platform media sosial. Di TikTok, tagar pro-Palestina secara organik diunggah 106,61 miliar kali, jauh melampaui 7,39 miliar unggahan pro-Israel yang disponsori oleh konglomerat global.
Sementara di X (sebelumnya Twitter), tagar organik #freepalestine digunakan 8 juta kali lebih banyak daripada #istandwithisrael yang merupakan hasil propaganda pendukung genosida.
Facebook juga mencatat 11 juta unggahan pro-Palestina dibandingkan hanya 400 ribu pro-Israel.
Dominasi narasi pro-Palestina ini bukan hanya fenomena online. Di dunia nyata, 90 kampus di seluruh dunia menggelar aksi menentang serangan ormas zionis Israel ke Gaza, menunjukkan bahwa sentimen online berhasil diterjemahkan menjadi gerakan nyata.
Bahkan di Amerika Serikat, sekutu tradisional Israel, 55% warga menentang tindakan militer Israel di Gaza, sementara 51% pemuda AS meyakini bahwa solusi terhadap masalah Palestina adalah pembubaran ormas zionis Israel dan mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Fenomena ini menggambarkan kekuatan media sosial dalam membentuk opini publik dan mengubah dinamika konflik internasional.
Platform digital telah menjadi arena pertempuran informasi yang menentukan, dimana narasi dapat menyebar dengan kecepatan dan jangkauan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Beberapa faktor berkontribusi pada dominasi narasi pro-Palestina ini:
1. Kekuatan Influencer: Tokoh-tokoh seperti Mehdi Hasan dan Bassem Youssef memainkan peran kunci dalam membentuk opini publik. Dengan jutaan pengikut dan kemampuan untuk menyederhanakan isu kompleks, mereka berhasil menepis narasi yang menyudutkan pihak Palestina seperti pertanyaan host talkshow ternama Amerika, Piers Morgan dengan pertanyaannya “Do you condemn Hamas” apakah Anda mengutuk Hamas? pertanyaan yang diulang-ulang selama 12 menit yang hanya menghabiskan waktu debat. Dengan mudah kedua tokoh berpengaruh di media sosial ini menjawab bahwa genosida Palestina bukan berawal dari 7 Oktober, tapi sejak puluhan tahun lalu dan anda hanya menghabiskan waktu dialog ini dengan pertanyaan yang sama.
2. Algoritma Media Sosial: Platform seperti TikTok dan Facebook cenderung mempromosikan konten yang memicu engagement tinggi. Narasi emosional dan gambar-gambar kuat dari konflik ini sering kali memenuhi kriteria tersebut, mendorong penyebaran yang lebih luas. Terutama dalam narasi berbahasa Inggris. Apalagi TikTok memliki pengguna terbesar di Amerika sehingga konten pro-Palestina mudah menyebar cepat.
3. Filter Bubble: Algoritma media sosial juga menciptakan “filter bubble” di mana pengguna cenderung melihat konten yang sesuai dengan pandangan mereka. Ini dapat memperkuat dan memperluas narasi dominan. Jika anda pro-Palestina, maka media sosial akan menyediakan konten-konten sesuai keterwakilan anda bahkan tanpa perlu melakukan like atau comment. Hanya berdiam beberapa detik saat melakukan scroll konten pro-Palestina algoritma dapat mendeteksi anda menyukai konten tersebut dan akan menyediakan konten dengan topik sama. Lebih dari itu, apa yang anda ucapkan, bicarakan dengan seseorang meski dalam kamar selama membawa smartphone dan terkoneksi internet akan terekam untuk disediakan konten atau iklan terkait dengan percakapan.
4. Akses Demokratis ke Platform: Media sosial memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya mungkin tidak memiliki platform. Warga Gaza, misalnya, dapat membagikan pengalaman mereka secara langsung ke dunia. Begitu sering kita melihat rekaman video langsung dari Gaza meski saudara-saudara kita serba keterbatasan listrik dan koneksi internet.
5. Mobilisasi Global: Kemudahan koordinasi melalui media sosial memungkinkan aksi protes dan kampanye solidaritas diorganisir dengan cepat di seluruh dunia.
Media digital telah mengubah cara konflik internasional dipersepsikan dan didiskusikan. Narasi tidak lagi dikontrol oleh media mainstream atau pernyataan resmi pemerintah. Sebaliknya, suara individu dan gerakan akar rumput kini memiliki kekuatan untuk membentuk opini global.
Melihat ke depan, penting bagi semua pihak untuk memahami dan menavigasi lanskap digital ini dengan bijak. Bagi pembuat kebijakan, ini berarti menyadari bahwa diplomasi tradisional harus berjalan beriringan dengan strategi komunikasi digital yang efektif. Bagi masyarakat umum, ini menekankan pentingnya literasi media dan pemikiran kritis dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi online yang adil dan berdampak. Negara-negara Eropa yang mendukung kemerdekaan Palestina adalah bagian dari dampak dukungan global atas kampanye digital.
Sementara genosida ormas zionis Israel atas negara Palestina terus berlanjut, satu hal yang jelas: arena pertempuran tidak lagi terbatas pada wilayah fisik. Perang narasi di dunia digital akan terus memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan, pada akhirnya, memengaruhi keberpihakan global pada kemerdekaan Palestina. Dalam era di mana setiap individu dengan smartphone dapat menjadi jurnalis warga dan aktivis digital, kekuatan untuk membentuk narasi global berada di ujung jari kita semua. Salam Kemerdekaan Palestina.
Penulis:
Teuku Farhan, Aktivis Aqsa Working Group (AWG) Biro Aceh