Oleh: Ajidar Matsyah
Penghutang dan peminjam merupakan individu masyarakat baik yang berstatus ASN maupun non-ASN. Kenapa mereka menjadi penghutang, peminjam kepada pihak lain.
Terdapat beberapa alasan di antaranya; pertama berhutang atau meminjam karena untuk memenuhi kebutuhan yang tidak mencukupi, kedua berhutang atau meminjam karena terpaksa dan tidak ada cara lain, ketiga berhutang atau meminjam karena bertujuan untuk memulai atau mengembangkan usahanya.
Rata-rata penghutang atau peminjam ini melakukan pinjaman atau hutang di lembaga keuangan baik Bank maupun non-Bank. Kebanyakan nasabah yang melakukan pinjaman di Bank atau non-Bank berasal dari pegawai negeri, baik pegawai fungsional maupun struktural, tak terkecuali guru sekolah dan para dosen di perguruan tinggi.
Menurut info tidak resmi, kebanyakan ASN baik fungsional maupun struktural SK-nya banyak disimpan di lembaga keuangan, ada yang disimpan di safety box Bank untuk kemanan, ada juga yang dijadikan sebagai jaminan untuk peminjaman dana di lembaga keuangan tersebut.
Pencatatan hutang dan pinjaman wajib tercatat sesuai dengan sistem dan manajemen pembukuan keuangan. Penghutang, peminjam dan pemberi hutang, pemberi pinjaman serta pemberi kredit kedua-dua pihak wajib sama-sama maklum terhadap nominal dan tempo transaksi yang dilakukan, tidak boleh majhul.
Kewajiban ini dapat dipahami pada ayat yang membahas terkait hutang piutang, sebagai berikut;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. (Q.S. Al-Baqarah: 282).
Dalam Ketentuan hukum ekonomi syariah, setiap transaksi hutang atau pinjaman yang telah dinyatakan sah artinya telah memenuhi syarat wajib dibayar sesuai dengan besaran nominal dan tempo yang telah disepakati baik cash atau angsuran dalam kondisi apapun. Namun dalam konsep hukum ekonomi syariah sedikit berbeda atara kondisi normal (al-rakha’) dengan kondisi darurat (al-Syiddah).
Kondisi Normal (al-rakha’)
Islam mengajarkan umatnya agar tidak pernah menunda-nunda membayar hutang atau pinjaman baik dalam bentuk cash maupun dalam bentuk angsuran. Bahkan Islam memperingatkan umatnya bahwa siapa yang tidak membayar hutang atau pinjaman. ruhnya akan tertahan.
Banyak hadist yang mengandung tarhib (peringatan) kepada penghutang, peminjam dan atau pengambil kredit, di antaranya seperti berikut;
نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه (رواه الترمذى).
Artinya: Jiwa seorang mukmin masih tergantung dengan sebab hutangnya sehingga dilunasi (H.R. Turmuzi).
Dalam kondisi al-rakha’ (normal) pemberi hutang, pemberi pinjaman, dan pemberi kredit berkewajiban menyampaikan penagihan kepada nasabahnya, karena dengan demikian ia sudah ikut membantu saudaranya membebaskan diri dari jeratan hutang. Jika yang bersangkutan meninggal dunia dan mempunyai harta pusaka yang ditinggalkan maka pihak ahli waris wajib membayar hutang si mati lebih dahulu sebelum memfaraidhkan kepada ahli waris. Adapun hak ahli waris ialah sisa harta yang ada setelah hutang si mati diselesaikan.
Kondisi Darurat (al-syiddah)
Wabah corona atau Covid-19 yang mewabah secara global yang memakan korban siapa saja tanpa pandang bulu, siapa saja bisa terpapar dengan wabah yang mematikan ini, mulai masyarakat kecil hingga pejabat tinggi negara, baik tua maupun muda. Akibatnya ekonomi pun lumpuh secara global tak terkecuali wilayah Aceh.
Kondisi ini dalam perspektif Fiqh masuk dalam kategori al-syiddah atau darurat. Status kondisi darurat seperti hari ini dan barangkali beberapa waktu ke depan mempengaruhi efek hukum bagi pemberi hutang, pemberi pinjaman dan pemberi kredit terhadap penghutang, peminjam dan pengambil kredit.
Dalam perspektif Fiqh jika seseorang yang berhutang berhadapan dengan kondisi seperti bencana wabah hari ini sehingga menyulitkan baginya untuk membayar hutang atau angsuran kredit, maka pihak pemberi pinjaman atau kredit dianjurkan untuk menunda sementara penagihan atau pemotongan angsuran kredit yang sedang berjalan.
Anjuran ini dapat dipahami dari mekasud ayat berikut;
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 280).
Menurut Tafsir al-Thabari (Vol.VI, hal.31-32), terdapat beberapa riwayat terkait penafsiran kata ila maisaratiin pada ayat di atas. Sebagian riwayat menyebutkan makna ila maisaratiin tunggu sampai ia kaya. Sebagian riwayat yang lain menyebutkan makna ila maisaratiin tunggu sampai ia mencukupi kebutuhan. Bahkan dalam riwayat yang lain lagi menyebutkan makna ila maisaratiin ialah tunggu sampai ia mati.
Artinya ketiga-tiga riwayat tersebut sepakat bahwa keharusan bagi pemberi pinjaman, pemberi hutang dan pemberi kredit untuk menunda sementara waktu penagihan dan pemotongan kredit sampai keadaan kembali normal.
Lembaga keuangan sebagai central peminjaman masyarakat sudah selayaknya tampil dengan sigap dalam kondisi al-syiddah (darurat) ini ikut serta membantu masyarakat khususnya nasabahnya yaitu dengan menunda penagihan dan pemotongan angsuran kredit nasabahnya.
Penundaan penagihan dan angsuran kredit dalam kondisi seperti ini terutama di Aceh merupakan bagian dari anjuran Fiqh sosial, sebagai mana terdapat dalam hadist berikut:
المسلم أخو المسلم لايظلمه ولايسلمه ومن كان فى حاجة أخيه كان الله فى حاجته ومن فرّج عن مسلم كربة فرّج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن ستر مسلما ستر الله يوم القيامة (رواه البخار).
Artinya: Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kebinasaan), barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya Allah akan memenuhi hajatnya, dan barang siapa melapangkan suatu kesulitan seorang Muslim Allah lapangkan kesulitaan-kesulitannya di akhirat, dan barang siapa yang menutup aib seorang Muslim Allah akan menutupi aibnya. (H.R. Bukhari).
Hakikatnya menghilangkan kesulitan seseorang dalam kondisi wabah dan hura hara seperti hari ini merupakan tanggung jawab bersama. Social solidarity perlu diperkuat oleh setiap individu masyarakat termasuk lembaga keuangan dan tidak hanya dibebankan atas pundak seseorang saja, akan tetapi apa yang dapat dilakukan hari ini segera lakukan.
Dalam hal ini, salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pihak lembaga keuangan baik Bank maupun Non-Bank adalah penangguhan hutang dan kredit bagi nasabahnya. Dan ini akan dikenang oleh pihak nasabah terhadap solidaritas lembaga keuangan, jika tidak maka penilaian masyarakat dan nasabah terhadap eksistensi lembaga keuangan akan bergeser terutama terhadap lembaga kuangan daerah.
Penangguhan ini tanpa perlu kepada permohonan dari penghutang, peminjam lebih dahulu, tetapi diperlukan kebijakan dan tindakan segera pihak lembaga keuangan. Bahkan jika melihat perkembangan wabah ini dari hari ke hari, ada kemungkinan krisis ekonomi yang dahsyat dan lama akan terjadi, nasib masyarakat dan risiko lainnya akan semakin parah, maka pihak pemberi hutang, pinjaman atau kredit yang nominalnya memungkinkan untuk diibra’kan (dihapuskan atau disedekahkan), maka sungguh sangat dianjurkan, sesuai dengan pengertian ayat di atas yaitu” Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. Dengan ini, besar harapan akan ada info mengembirakan dalam beberapa hari ini tertuma dari lembaga keuangan daerah. Sekian
*Penulis:
— Pimpinan Dayah Tinggi Islam Samudera Pase, Baktiya Aceh Utara
— Direktur Sekolah Tingi Ilmu Ekonomi Syariah (STIES)-Baktiya Aceh Utara
— Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh