Tanpa kita sadari hampir seluruh ruas jalan yang ada di Komplek Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Kampus Darussalam sudah terpasangi pagar. Bahkan beberapa diantaranya telah dipagari dengan besi beton.
Kegiatan pemagaran jalan di Kopelma Darussalam masih terus berlangsung hingga saat ini tanpa ada pihak yang menghentikannya. Pemagaran jalan kerap dilakukan oleh manajemen Unsyiah saat ini.
Kasus terkini pemagaran jalan yang sehari-hari digunakan oleh penduduk Gampong Kopelma Darussalam, para mahasiswa, dosen dan karyawan UIN -Unsyiah – Dayah Manyang Tgk. Chik Pante Kulu, pelajar, pekerja Puskesmas termasuk masyarakat sekitar Kopelma Darussalam.
Pasal 12 Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, milik jalan dan pengawasan jalan”.
Kententuan undang-undang ini bukan hanya bersifat mengatur namun juga mengikat, karena di dalamnya memasukkan ketentuan pidana dan sanksi hukuman. Pemidanaan terhadap perbuatan penutupan jalan ditentukan dalam Pasal 63 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dipidana dengan pidana paling lama 18 bulan atau denda paling banyak 1.500.000.000”.
Ayat (2) berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan dipidana dengan pidana paling lama 9 bulan atau denda paling banyak 500.000.000″.
Ayat (3) berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan dipidana dengan pidana paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 200.000.000”.
Kenapa perbuatan menutup atau memagari jalan yang ada dalam Komplek Pelajar Mahasiswa bisa dikategorikan perbuatan pidana, hal ini disebabkan karena jalan yang berada dalam Kopelma Darussalam bukanlah jalan milik komplek kampus Unsyiah, UIN atau Kampus Dayah Panyang Tgk. Chik Pante Kulu semata, tetapi status jalan tersebut adalah jalan umum.
Pasal 9 ayat (1) menjelaskan, jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Sedangkan pemilik jalan tersebut adalah Desa/Gampong Kopelma Darussalam sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (6) “Bahwa jalan Desa merupakan jalan yang menghubungkan kawasan dan atau/antar pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan”.
Kalaupun kemudian, dalam Kopelma Darussalam terdapat pihak-pihak yang memegang sertifikat hak atas tanah, maka pemegang sertfikat tersebut tidaklah termasuk ke dalam penguasaan jalan. Karena penguasaan jalan ada pada negara (Pasal 13 ayat (1). Dan negara memberi wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan negara (ayat (2).
Pemerintah yang dimaksud disini adalah Pemerintah Pusat (Pasal 1 angka 1), sedangkan Pemerintah Daerah yang dimaksud disini adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah (angka 3).
Dalam hal ini rektor bukanlah bagian dari Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk menyelenggarakan, mengatur, membina, membangun dan mengawasi jalan apa lagi sampai memagari dengan tembok beton.
Sebenarnya pula, perbuatan memagari dan menembok jalan sebagaimana yang dilakukan manajemen Unsyiah saat ini adalah bertentangan dengan teori kewenangan dalam ilmu hukum.
Di dalam hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya, dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dan kontinenta, seperti Negara Indonesia yang menganut teori kewenangan.
Sumber kewenangan diperoleh dari atribusi, delegasi dan mandat. Berdasarkan ketiga sumber kewenangan tersebut, maka rektor tidak termasuk kedalam kelompok pejabat negara yang mendapat kewenangan penyelenggaraan jalan.
Rektor sebagai pejabat negara, hanya menyelenggarakan pendidikan sesuai UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2010 tentang Pendidikan Tinggi dan mendapat wewenangnya hanya dalam bidang pendidikan yang meliputi penyelenggaraan tri dharma pergurun tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kemasyarakatan.
Tidak termasuk penyelenggaraan jalan. maka perbuatan menutup jalan, termasuk pula ke dalam perbuatan yang melampaui kewenangan, maka pejabat negara yang bertindak melampaui kewenangannya juga bisa pula dipidanakan dengan perbuatan yang tidak menyenangkan orang lain.
Jika ada yang berpendapat bahwa pemagaran jalan, dan pembuatan tembok pembatas seperti yang terjadi di sepanjang Jalan Inong Balee arah ke Gampong Rukoh itu dilakukan di atas aset tanah milik kampus tertentu, dan telah tercatat sebagai Barang Milik Negara, yang berdasarkan kepemilikan sertifikat yang dipegang, maka pendapat ini keliru.
Penjelasannya begini, “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 angka 1 PP 27 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 28 Tahun 2020).
Tanah Kopelma Darussalam perolehannya bukanlah atas beban Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Sedangkan tafsir terhadap bunyi “…atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Maka maksud dari kalimat “berasal dari perolehan lainnya yang sah dapat dilihat dalam Penjelasan.
Disana dijelaskan bahwa termasuk dalam ketentuan ini meliputi hibah/sumbangan atau yang sejenis dari negara/lembaga internasional dalam kerangka penanganan bencana, barang yang diperoleh dari kontrak karya, kontrak bagi hasil, kontrak kerja sama dan perjanjian dengan negara lain/lembaga internasional serta kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, yang diperoleh dari aset asing/china, benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam, barang rampasan, dan barang tegahan kepabeanan.
Dari semua penjelasan yang ada, sertifikat hak pakai atas tanah yang dikuasai negara atau tanah negara tidak termasuk.
Sehingga tanah yang diperoleh atas sertifikat hak pakai bukan dan/atau tidak boleh dicatat sebagai Barang Milik Negara.
Sertifikat hak pakai dikeluarkan atas tanah yang berstatus dikuasai negara atau tanah milik orang lain.
Pasal 41 UU No.5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pemegang hak pakai memiliki wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam suatu surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.
Berdasarkan fakta, pihak manajemen kampus belum bisa menunjukkan surat Keputusan dimaksud. Yang ada hanya selembar sertifikat hak pakai yang tidak menjelaskan wewenang dan kewajiban sebagai pemegang hak pakai.
Sedangkan Surat Keputusan yang memberi hak pakai atas tanah negara, sifatnya subtansi dan menjadi prasyarat dikeluarkannya sertifikat hak pakai.
Saat ini perolehan luas areal kampus, Unsyiah mencapai luasnya mendekati 145 hektare, dari total 181,3 ha. IAIN/UIN memiliki 30 hektare. Sedangkan Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu tidak memperoleh satu meterpun.
Padahal Unsyiah, IAIN/UIN dan Dayah Manyang Pante Tgk Chik Pante Kulu, ketiganya dilahirkan dan didirikan dalam Komplek Pelajar Mahasiswa Darussalam, termasuk perkampungan Kopelma Darussalam sebagai entitas pemerintahan desa.
Tidak adanya surat keputusan penerimaan hak pakai dari pejabat berwenang (setidaknya sampai saat ini karena belum pernah diperlihatkan), yang kemudian atas tanah negara yang diperuntukkan pembangunan Kopelma Darussalam ditafsirkan oleh manajemen salah satu kampus terbesar sekarang ini sebagai Barang Milik Negara. padahal sebagaimana penjelasan di atas, tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara tidak termasuk kelompok Barang Milik Negara.
Hukum tidak boleh ditafsir sendiri. Tafsir resmi hukum terdapat dalam penjelasan. Perbuatan dalam menafsir hukum sendiri, dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambil tindakan, seperti pemagaran jalan.
Ini bisa jadi akibat perbuatan salah tafsir, menimbulkan gagal paham, berakibat melawan hukum, maka bisa dipidana dengan Undang-Undang tentang Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjelaskan bahwa semua surat keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dikirim oleh Penjabat yang berwenang memberi hak itu kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan, untuk dibukukan dalam daftar buku-tanah yang bersangkutan.
Dan untuk pembuatan sertifikatnya maka dari bidang tanah yang bersangkutan dibuat surat-ukur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal ini berbunyi “Bentuk surat-ukur serta cara mengisinya ditetapkan oleh Menteri Agraria, dengan ketentuan bahwa surat-ukur itu selain memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas, gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda yang penting harus memuat pula nomor pendaftaran, nomor dan tahun surat-ukur/buku tanah, nomor pajak (jika mungkin), uraian tentang letak tanah, uraian tentang keadaan tanah, luas tanah dan orang atau orang-orang yang menunjukkan batas-batasnya.
Selanjutmya dalam dijelaskan juga “Setiap surat-ukur dibuat dalam rangkap-dua, yang satu diberikan kepada yang berhak sebagai bagian dari sertipikat yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), sedang yang lain disimpan di Kantor Pendaftaran Tanah. Semua surat-ukur yang disimpan itu tiap-tiap tahun dijilid dan merupakan daftar surat-ukur”.
Berdasarkan penjelasan pasal 11 ini, dapat diketahui bahwa ‘jalan-jalan’ adalah berkedudukan sebagai batas tanah yang diukur. Dengan kata lain, jalan tidak termasuk objek yang diukur, atau juga dapat diketahui bahwa jalan tidak boleh diukur untuk dimasukkan kedalam objek yang dikuasai, karena kekuasan jalan ada pada negara sebagaimana dalam Undang-Udang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan.
Kecuali jika jalan tersebut jalan yang dibangun setelah kepemilikan tanah dimiliki oleh sesuatu pemegang hak dan tidak dimaksudkan sebagai jalan umum atau diserahkan kepada pemerintah.
Sedangkan jalan-jalan yang ada di Kopelma Darussalam keberadaanya telah terlebih dahulu ada, jauh sebelum Unsyiah memegang sertifikat hak pakai Nomor 01.01.04.12.4.00001 tahun 1992.
Dengan demikian semua jalan yang ada dalam Komplek Pelajar Mahasiswa Darussalam adalah jalan umum sesuai undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Jika demikian halnya, maka pemagaran beberapa jalan yang diantaranya pada ujung jalan Inong Balee, Jalan T. Nyak Arief dalam lingkungan Kopelma yang menghubungkan antara ke arah Tungkop dan ke arah kota, Jalan Tgk. Chik Pante Kulu, termasuk pemagaran sepanjang jalan Inong Balee mulai dari persimpangan galon sampai dengan ke persimpangan Gampong Rukoh, dapat dikenakan perbuatan melanggar hukum, karena jalan adalah termasuk objek batas bukan objek yang diukur, apalagi penguasaan jalan ada pada negara.
Lalu siapakah yang sebenarnya boleh bertindak atas tertutupnya sejumlah Jalan Umum yang ada dalam Gampong Kopelma Darussalam. Sesuai aturan yang ada, karena hak penguasaan jalan ada pada negara (Pasal 13 UU tentang Jalan), wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaran jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa (pasal 16 ayat (1), sedangkan wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten oleh pemerintah kabupaten, meliputi pengaturan, pembinaan, pebangunan dan pengawasan (ayat (3), dimana jalan-jalan tersebut masuk ke dalam kelompok jalan umum (Pasal 9 ayat (1) dan jalan desa (ayat (6).
Dengan demikian maka atas penutupan sejumlah jalan yang ada dalam Komplek Pelajar Mahasiswa Darussalam menjadi tugas tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Aceh Besar atau Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menjalankan fungsi pengaturan, pembinaan dan pengawasan termasuk membongkar semua tembok penutup jalan pada seluruh jalan yang pernah ada dalam Gampong Kopelma Darussalam.
Selain Pemkab dan Pemko, sesuai ketentuan Pasal 3 huruf b UU No. 38 tahun 2004, masyarakat juga memiliki peran atas penyelenggaraan jalan dalam bentuk pengawasan dan pelaporan atas perbuatan yang dipandang merugikan kepentingan umum termasuk menghambat akses jalan. Wallahua’lam.
Banda Aceh, 13 Agustus 2020
*Penulis adalah Mantan Majelis Hakim Pada Komisi Informasi Aceh periode 2012 s/d 2016