Oleh: Muhammad Nasir Djamil*
TEKA-TEKI soal pencalonan Bustami Hamzah sebagai kandidat Gubernur Aceh yang akan berlaga pada 27 November 2024 mendatang terjawab sudah.
Selain pernah menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Bustami juga menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Aceh setelah “melengserkan” Achmad Marzuki, pemangku sebelumnya.
Pengganti Bustami adalah Safrizal ZA, Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri. Birokrat asal Aceh itu sebelumnya menjadi Pj Gubernur Bangka Belitung.
Pergantian Pj Gubernur ini menandakan bahwa Bustami serius akan menjadi kontestan calon gubernur dan bisa jadi “head to head ” melawan Muzakir Manaf atau Mualem, Ketua Umum DPP Partai Aceh.
Kita tinggalkan dulu Mualem dan Bustami. Mari kita lihat Pj Gubernur Safrizal. Meskipun awalnya dia digadang-gadang menjadi Pj Gubernur Aceh setelah Nova Iriansyah (Gubernur Aceh pengganti Irwandi Yusuf) habis masa jabatan, namun posisi itu diisi oleh Achmad Marzuki, seorang pensiunan jenderal militer yang pernah menjadi Pangdam Iskandar Muda.
Safrizal harus puas menjadi Pj Gubernur Bumi Serumpun Sebalai, julukan untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tentu saja Safrizal punya tanggung jawab besar untuk menyukseskan pemilihan kepala daerah dan ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 yang berlangsung di Sumatera Utara dan Aceh.
Safrizal boleh dibilang adalah “Gubernur Pengantar”. Mengantar pemilihan kepala daerah serentak di Aceh agar menjadi pesta rakyat sejati. Memastikan bahwa pilkada jauh dari intimidasi, baik verbal maupun fisik. Mengarahkan agar penyelenggara, baik KIP dan Bawaslu, berkerja atas dan untuk menyelamatkan demokrasi.
Sebab pilkada di Aceh boleh dibilang terlambat jika merujuk kepada UU Pemerintahan Aceh yang memberi mandat agar pelaksanaan pilkada berlangsung lima tahun sekali.
Seharusnya Aceh sudah menggelar pilkada pada tahun 2022 lalu setelah Nova Iriansyah selesai masa baktinya 5 Juli 2022. Tapi sayang hal itu tidak terwujud disebabkan faktor politik dan keputusan sepihak Jakarta.
Karena itu, pilkada yang sudah ditunggu dua tahun oleh rakyat Aceh diharapkan menjadi ajang menggagas visi dan misi.
Masyarakat pemilih di Aceh harus diberi akses untuk mendapatkan gagasan yang baik dan bernas dalam memajukan daerah. Bukan pada figur dan tokoh tertentu, yang gagasan dan idenya belum pernah didengar oleh rakyat.
Penyelenggara pilkada bersama Pemerintah Aceh transisi itu mendorong kedaulatan rakyat dalam menentukan dan memilih calon kepala daerah mereka. Kita tidak ingin ada “kekuatan uang” yang “membeli” pemerintah yang berkuasa di Aceh kelak.
Memang betul bahwa pilkada bukanlah barang baru bagi masyarakat. Tapi upaya mencerdaskan pemilih adalah prasyarat agar demokrasi semakin berkualitas.
Pekerjaan rumah lainnya yang menanti Safrizal adalah penyelenggaraan ajang olahraga nasional PON yang akan dihelat pada 8 September 2024 mendatang. Salah satu alasan penunjukan Safrizal sebagai Pj Gubernur Aceh, selain dirinya mengenal Aceh dengan baik, Pemerintah ingin PON berjalan sukses tanpa cela.
Itu sepertinya menjadi “harga mati”. Bisa jadi PON Sumut-Aceh ini adalah “legacy”-nya Presiden Jokowi di akhir pemerintahannya. Karena itu pusat tidak mau mengambil risiko jika kompetisi resmi yang berlangsung empat tahun sekali itu mendapat “rapor merah”.
Jadi tugas dan tanggung jawab Pj Gubernur Safrizal menjadi bertambah. Selain memastikan pilkada serentak berlangsung jujur dan adil serta non politik uang, ia juga harus meyakinkan publik bahwa PON berjalan lancar tanpa kendala.
Semua gelanggang cabang olahraga yang dipertandingkan diharapkan bukan hanya berkualitas sesuai standar, melainkan juga aman bagi atlit yang bertanding.
Moda transportasi yang cukup dan aman, akomodasi yang nyaman, mesin-mesin ATM tempat penarikan uang, partisipasi aktif warga di area-area dimana cabang olahraga dipertandingkan adalah sederetan yang patut hadir agar gegap-gempita PON didengar hingga ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Di sisi lain yang tak kalah penting adalah posisi Pj Gubernur Safrizal. Ia adalah putera Aceh yang diharapkan mampu menjadi pendorong utama bagi atlet-atlet Aceh untuk mendapatkan medali sebanyak-banyaknya.
Baik itu emas, perak ataupun perunggu. Perolehan medali, terutama emas akan membuat Aceh menjadi pemuncak.
Meskipun berat, tapi bukan mustahil bagi Aceh. Sebagai tuan rumah, Aceh punya peluang untuk masuk dalam lima besar PON XXI.
Karena itu peran tambahan Pj Gubernur Safrizal diharapkan untuk memotivasi dengan cara menjanjikan bonus bagi atlit yang meraih medali.
Walhasil Pj Gubernur Safrizal harus melakukan “duek ube let punggoeng, jak ube let tapak”. Filosofi ini intinya agar seseorang tidak boleh mengambil hak orang lain.
Tapi dalam konteks kekinian, falsafah orang Aceh itu menjadi pegangan bagi Pj Gubernur Safrizal agar mampu membawa diri di antara sebagai putera Aceh yang dipercaya untuk memimpin di masa transisi dan sebagai “wakil” Pusat. Dua kakinya tidak utuh berpijak di bumi Aceh.
Karena itu, kita tunggu “action” Pj Gubernur Safrizal untuk mengayuh sampan agar sekali mendayung dua pulau terlampaui.
Sukses menggelar pilkada serentak secara demokratis dan membawa harum nama Aceh dan Pusat dalam ajang PON XXI. Mari kita ucapkan “welcome to the jungle” kepada Pj Gubernur Safrizal.
Semoga Aceh dalam beberapa bulan mendatang menjadi “jungle” yang menarik dan nyaman untuk dikunjungi oleh tamu luar dan investor.
Wallahu a’lam bissawwab.