Plt Dirut Dikosongkan, Bank Aceh Kini Berlayar Tanpa Nahkoda
Antara Kebanggaan dan Ketakutan
Fenomena Bank Aceh ini menimbulkan dua reaksi ekstrem. Di satu sisi, ada kekaguman. Banyak yang melihatnya sebagai bukti bahwa Bank Aceh sudah sangat mandiri dan sistemnya sudah matang.
Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran jika terus begini, apakah Bank Aceh tidak akan kehilangan arah?
Memang, struktur organisasi bisa menopang keberlangsungan sebuah institusi dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, institusi tanpa visi akan stagnan. Ketika tidak ada kepemimpinan yang menginspirasi, maka inovasi akan mandek.
Ketika tidak ada kebijakan strategis, maka potensi pertumbuhan akan terabaikan.
Lebih dari itu, kekosongan ini juga bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk bermain di balik layar. Ketika tidak ada satu orang yang secara sah memegang tanggung jawab, maka ruang abu-abu terbuka lebar.
Dan dalam ruang abu-abu itu, keputusan bisa diambil tanpa mekanisme yang jelas, tanpa pertanggungjawaban, dan tanpa arah.
Aceh Layak Punya Bank yang Profesional
Bank Aceh bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi Aceh. Dalam sejarah otonomi daerah, keberadaan Bank Aceh adalah salah satu manifestasi semangat kemandirian finansial.
Maka, ia seharusnya dijalankan dengan profesionalisme yang tinggi dan tata kelola yang bersih.
Jika dibiarkan tanpa Dirut, tanpa arah, dan tanpa transparansi, maka cita-cita besar di balik lahirnya Bank Aceh bisa tercoreng. Ini bukan lagi soal “siapa yang memimpin,” tapi lebih dalam dari itu: “mengapa kita membiarkan Bank Aceh berjalan tanpa arah?”
Masyarakat Aceh berhak tahu, berhak bertanya, dan berhak memastikan bahwa lembaga keuangan daerah mereka dijalankan secara sehat, profesional, dan bertanggung jawab.
Bank Aceh bukan milik segelintir elit, bukan juga milik komisaris atau pemerintah daerah semata. Ia milik publik. Maka kepentingan publik harus selalu menjadi yang utama.
Haruskah Kita Diam?
Diam dalam situasi seperti ini bukan pilihan yang bijak. Jika publik diam, jika pers diam, jika pemangku kepentingan hanya menonton, maka yang akan muncul adalah kelaziman terhadap kekosongan. Dan kelaziman itu berbahaya.