Pokir DPRA dan ‘Jatah’ Forkompinda Meresahkan Dunia Usaha di Aceh
Fenomena korupsi sistemik juga terjadi di kalangan Forkompimda, sebagaimana sudah menjadi rahasia umum bahwa jajaran Forkompimda mendapat gelontoran paket APBA.
Sehingga sering terjadi tarik menarik ketika lelang paket proyek dilaksanakan, persoalannya adanya klaim paket proyek “milik Kejaksaan, Polda, Kodam”.
Akibat dari klaim haram paket proyek APBA, telah meresahkan kalangan dunia usaha di Aceh, karena praktek monopoli marak terjadi.
Bahkan muncul seloroh “kalau masih suka paket proyek, kenapa masih saja jadi jaksa, polisi atau tentara, silahkan jadi kontraktor dong”.
Lantas mengapa kita masih saja diam, melihat porak porandanya moral para pemangku kebijakan di Aceh. Jika tidak ada lagi keteladanan yang ditujukan oleh para pemangku kebijakan, maka tidak mungkin kita berharap tumbuhnya kehidupan social yang menjunjung tinggi etika kultural.
Ibarat ikan membusuk pasti dari kepala, kemudian menjalar hingga ke ekor. Maknanya betapa bahayanya jika jajaran pimpinan di Aceh tidak mampu lagi menjadi teladan bagi rakyat Aceh, sudah dapat dipastikan akan menggerus kultur Aceh maha karya hasil olah rasa para leluhur.
Oleh karenanya dalam perspektif ancaman, korupsi sistemik yang terus dipraktekan oleh pemangku kebijakan di Aceh, adalah ancaman nyata yang lebih berbahaya dari issue separatisme, dengan dampak multidimensional diantaranya kemiskinan yang semakin akut, kelangsungan damai Aceh dan terkontaminasinya kultur Aceh akibat hilangnya keteladanan dari pemimpin.
Jika KPK RI tidak punya nyali membongkar korupsi sistemik di Aceh, rakyat Aceh akan lakukan pengadilan jalanan, kampanyekan anti korupsi dengan slogan “korupsi itu enaknya sesaat, malunya sampai liang lahat, mudharatnya sampai akhirat”.
Penulis: Sri Radjasa Chandra MBA, selaku Pemerhati Aceh