Oleh: Teuku Farhan*
Event nasional Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 yang berlangsung di Aceh pada bulan September 2024 memberikan dampak cukup signifikan terhadap aktivitas ekonomi, termasuk dalam sektor perbankan.
Namun, di tengah semangat mendorong digitalisasi transaksi, data menunjukkan bahwa masyarakat Aceh dan peserta PON masih lebih nyaman menggunakan uang tunai dibandingkan dengan metode pembayaran digital seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Pada periode PON, tercatat transaksi tunai melalui ATM dan Teller bank mencapai angka yang sangat besar, yakni Rp 8,66 triliun. Sementara itu, transaksi non-tunai melalui QRIS hanya mencapai Rp 65,58 miliar.
Angka ini jauh lebih kecil, dan memberikan sinyal bahwa masyarakat Aceh masih belum siap sepenuhnya untuk beralih ke transaksi digital, terutama di sektor ritel dan usaha kecil. Dan kehadiran ATM masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kita patut apresiasi langkah perbankan di Aceh yang menambah jumlah ATM di lokasi strategis dan nominal uang pecahan kecil sehingga memudahkan warga, tanpa antri dan transaksi tunai yang lancar.
Berbeda dengan daerah lain yang justru jumlah ATM-nya dikurangi. Itulah Aceh. Aceh itu selalu tampil beda dan istimewa. Perlu perlakuan khusus.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah digitalisasi transaksi benar-benar relevan untuk diterapkan secara masif di Aceh yang masih tergolong minim industri?
Di saat kota-kota besar di Indonesia mulai berlomba mendorong penggunaan QRIS dan pembayaran digital, realitas di Aceh justru menunjukkan arah yang berbeda.
Eksploitasi Digitalisasi Transaksi untuk UMKM
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar dorongan besar dari perbankan untuk mengadopsi transaksi digital, dengan alasan hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan memudahkan transaksi.
Salah satu sektor yang paling terkena imbas dorongan ini adalah UMKM, termasuk usaha kecil seperti toko kelontong dan warung-warung tradisional. Bank dan penyedia layanan pembayaran digital sering kali berargumen bahwa menggunakan QRIS akan membantu usaha kecil beradaptasi dengan zaman.
Namun, jika kita lihat kenyataan di Aceh, dorongan ini tampaknya lebih menguntungkan pihak perbankan ketimbang para pelaku usaha kecil.
Banyak UMKM di Aceh yang masih jauh dari kata siap untuk mengadopsi teknologi pembayaran digital. Infrastruktur di beberapa wilayah, seperti internet yang belum merata, membuat penggunaan QRIS tidak relevan, apalagi mengingat skala usaha mereka yang kecil dan berbasis tunai.
Sebagai salah satu pelanggan QRIS saya juga mengalami hal serupa. Pada awal-awal pemberlakuan QRIS, semua transaksi gratis. Lalu lama-kelamaan dan diam-diam dikenakan biaya. Sejak saat itu saya kecewa dan jarang menggunakan QRIS.
Lebih dari itu, biaya tambahan yang dikenakan pada setiap transaksi QRIS justru menambah beban bagi para pelaku usaha kecil. Setiap kali mereka menerima pembayaran melalui QRIS, mereka harus menanggung potongan biaya transaksi, yang secara akumulatif bisa cukup besar bagi usaha yang margin-nya sudah tipis.
Situasi ini menimbulkan kesan bank hanya mengeksploitasi transaksi digital untuk meningkatkan volume transaksi mereka, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi lokal.
Aceh masih tercatat sebagai salah satu daerah termiskin di Sumatera, dengan struktur ekonomi yang sebagian besar bergantung pada sektor publik dan sedikit industri besar.
Dorongan untuk meningkatkan transaksi digital pada UMKM di wilayah seperti ini tampaknya lebih diarahkan untuk mengejar target bank dalam hal pertumbuhan digitalisasi, tanpa mempertimbangkan relevansinya terhadap kondisi ekonomi daerah.
Pada tahun 2023, sekitar 55,5% dari total tenaga kerja Aceh berada di sektor informal, sementara 44,5% lainnya bekerja di sektor formal.
Tingginya proporsi pekerja sektor informal ini mencerminkan tantangan besar dalam mencapai stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, mengingat sektor informal cenderung tidak menawarkan jaminan kerja atau upah yang layak seperti sektor formal.
Untuk daerah termiskin, idealnya persentase pekerja sektor formal harus mencapai 60-70%, dengan 30-40% di sektor informal. Mendorong pekerja informal beralih ke sektor formal akan meningkatkan kesejahteraan melalui stabilitas pekerjaan, upah yang lebih baik, dan akses ke jaminan sosial.
Hal ini perlu didukung oleh kebijakan insentif, akses pembiayaan, serta pelatihan keterampilan untuk membantu sektor informal tumbuh dan bertransformasi.
Idealnya, sebuah daerah sebaiknya memiliki keseimbangan antara pekerja sektor formal dan informal. Tingginya jumlah pekerja di sektor informal bisa menimbulkan tantangan ekonomi, terutama terkait ketidakpastian pendapatan dan akses ke jaminan sosial, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperbesar kesenjangan kesejahteraan.
Sebaliknya, terlalu banyak pekerja di sektor formal juga bisa mengurangi fleksibilitas ekonomi dan menghambat perkembangan UMKM yang sangat penting di banyak daerah.
Menemukan keseimbangan antara kedua sektor ini adalah kunci untuk mendorong ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan di daerah termiskin seperti Aceh.
Tidak Perlu Memaksakan Digitalisasi di Daerah Minim Industri
Digitalisasi adalah langkah penting meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi harus diakui penerapannya tidak bisa disamaratakan di seluruh daerah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Medan, digitalisasi mungkin berjalan lebih cepat karena infrastruktur dan pola hidup masyarakatnya yang lebih terbiasa dengan teknologi.
Namun, di Aceh, dengan ekonomi yang masih bertumpu pada sektor informal dan tradisional, digitalisasi transaksi seperti QRIS tidak bisa dipaksakan begitu saja.
Apalagi banyak pihak menyatakan minimnya literasi digital kepada masyarakat, hal ini justru akan menjerumuskan masyarakat terjebak ke dalam jurang penipuan digital yang bertebaran di dunia digital.
Dalam hal ini perlu diperkuat pelibatan komunitas digital lokal seperti Masyarakat Informasi & Teknologi (MIT Foundation) yang telah berkiprah selama 14 tahun dalam menyosialisasikan pemanfaatan teknologi informasi yang positif dan produktif.
Tidak semua usaha kecil di Aceh memerlukan QRIS atau metode pembayaran digital lainnya. Toko kelontong, pakaian dan warung kopi tradisional, misalnya, yang melayani transaksi skala kecil setiap hari dengan pelanggan lokal, lebih cocok menggunakan uang tunai.
Memaksakan mereka untuk menggunakan QRIS hanya akan menambah beban operasional tanpa memberikan manfaat signifikan.
Lebih buruk lagi, biaya tambahan yang dikenakan pada setiap transaksi QRIS semakin mempersempit ruang keuntungan usaha kecil.
Padahal, jika benar-benar ingin mendorong penggunaan QRIS di sektor UMKM, bank seharusnya tidak memberlakukan biaya pada transaksi ini, atau setidaknya memberikan insentif khusus bagi usaha kecil.
Solusi seperti ini akan lebih membantu pelaku usaha kecil untuk beralih ke teknologi digital, tanpa harus terbebani biaya tambahan yang tidak perlu.
Perbankan Harus Perkuat Ekosistem Industri Digital di Aceh
Jika memang perbankan ingin mempercepat adopsi teknologi pembayaran digital di Aceh, mereka harus terlebih dahulu memperkuat fondasi ekosistem industri digital di daerah tersebut. Salah satu masalah utama yang dihadapi UMKM di Aceh adalah akses yang terbatas terhadap infrastruktur digital dan akses modal yang memadai.
Tanpa internet yang stabil dan murah, serta dukungan teknologi yang memadai, sulit membayangkan bagaimana pelaku usaha kecil bisa secara efektif menggunakan QRIS atau metode pembayaran digital lainnya.
Tanpa kemudahan akses modal untuk bisnis produk dan jasa digital, omong kosong program akselerasi transaksi digital.
Bank perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah dan penyedia layanan internet untuk memastikan semua wilayah di Aceh memiliki akses internet yang baik. Selain itu, edukasi dan pelatihan kepada pelaku usaha kecil tentang manfaat dan cara penggunaan QRIS harus digencarkan.
Hal ini penting agar pelaku usaha tidak hanya dipaksa menggunakan teknologi yang mereka sendiri tidak pahami.
Namun, sebelum hal tersebut tercapai, memaksakan penggunaan QRIS pada usaha kecil di Aceh hanya akan menciptakan kesenjangan dan permasalahan baru.
Sebaliknya, bank harus memberikan kelonggaran dan fleksibilitas bagi usaha kecil untuk memilih metode transaksi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.
Gratiskan Transaksi QRIS bagi Usaha Kecil
Bank tidak boleh mengeksploitasi usaha kecil dengan mengenakan biaya pada setiap transaksi QRIS. Jika bank benar-benar ingin membantu UMKM beradaptasi dengan teknologi digital, seharusnya transaksi QRIS bagi usaha kecil digratiskan.
Ini akan meringankan beban mereka dan mendorong adopsi teknologi secara lebih natural. Selain itu, bank juga perlu berperan aktif dalam membangun infrastruktur digital di Aceh, sehingga transaksi digital benar-benar relevan dan bermanfaat bagi pelaku usaha kecil, bukan hanya menjadi alat eksploitasi demi mengejar angka pertumbuhan digital perbankan.
Digitalisasi transaksi memang penting, tapi memaksakan penggunaan QRIS di daerah dengan industri yang masih minim dan ketergantungan tinggi pada sektor publik seperti Aceh justru bisa menjadi bumerang.
Masyarakat Aceh saat ini lebih nyaman menggunakan uang tunai, dan sebelum mereka benar-benar siap beralih ke pembayaran digital, bank perlu memahami dan menghormati kebutuhan dan kearifan lokal mereka.
*Penulis Teuku Farhan adalah Praktisi IT. Email: mail@teukufarhan.com