QRIS Kurang Diminati di Aceh, Masyarakat Lebih Suka Transaksi Tunai
Namun, jika kita lihat kenyataan di Aceh, dorongan ini tampaknya lebih menguntungkan pihak perbankan ketimbang para pelaku usaha kecil.
Banyak UMKM di Aceh yang masih jauh dari kata siap untuk mengadopsi teknologi pembayaran digital. Infrastruktur di beberapa wilayah, seperti internet yang belum merata, membuat penggunaan QRIS tidak relevan, apalagi mengingat skala usaha mereka yang kecil dan berbasis tunai.
Sebagai salah satu pelanggan QRIS saya juga mengalami hal serupa. Pada awal-awal pemberlakuan QRIS, semua transaksi gratis. Lalu lama-kelamaan dan diam-diam dikenakan biaya. Sejak saat itu saya kecewa dan jarang menggunakan QRIS.
Lebih dari itu, biaya tambahan yang dikenakan pada setiap transaksi QRIS justru menambah beban bagi para pelaku usaha kecil. Setiap kali mereka menerima pembayaran melalui QRIS, mereka harus menanggung potongan biaya transaksi, yang secara akumulatif bisa cukup besar bagi usaha yang margin-nya sudah tipis.
Situasi ini menimbulkan kesan bank hanya mengeksploitasi transaksi digital untuk meningkatkan volume transaksi mereka, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi lokal.
Aceh masih tercatat sebagai salah satu daerah termiskin di Sumatera, dengan struktur ekonomi yang sebagian besar bergantung pada sektor publik dan sedikit industri besar.
Dorongan untuk meningkatkan transaksi digital pada UMKM di wilayah seperti ini tampaknya lebih diarahkan untuk mengejar target bank dalam hal pertumbuhan digitalisasi, tanpa mempertimbangkan relevansinya terhadap kondisi ekonomi daerah.
Pada tahun 2023, sekitar 55,5% dari total tenaga kerja Aceh berada di sektor informal, sementara 44,5% lainnya bekerja di sektor formal.
Tingginya proporsi pekerja sektor informal ini mencerminkan tantangan besar dalam mencapai stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, mengingat sektor informal cenderung tidak menawarkan jaminan kerja atau upah yang layak seperti sektor formal.
Untuk daerah termiskin, idealnya persentase pekerja sektor formal harus mencapai 60-70%, dengan 30-40% di sektor informal. Mendorong pekerja informal beralih ke sektor formal akan meningkatkan kesejahteraan melalui stabilitas pekerjaan, upah yang lebih baik, dan akses ke jaminan sosial.