Oleh: Teuku Alfin Aulia dan Agamna Azka
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu mekanisme demokrasi di Indonesia yang bertujuan memilih kepala daerah, seperti gubernur, bupati, wali kota, beserta wakilnya.
Dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, Pilkada merepresentasikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi dasar sistem demokrasi Indonesia.
Penyelenggaraan Pilkada diatur melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, dengan tujuan utama memilih pemimpin daerah yang mampu mendorong pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 2024, Pilkada akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada 27 November 2024. Persiapan telah dilakukan jauh sebelumnya, meliputi tahapan penentuan calon, kampanye, hingga pelaksanaan hari pemungutan suara.
Momentum ini menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat untuk memastikan terselenggaranya Pilkada demokratis.
Aceh menjadi salah satu daerah yang melaksanakan Pilkada tahun 2024. Dua pasangan calon (paslon) gubernur/wakil gubernur yang maju adalah Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi (nomor urut 01) dan Muzakir Manaf (Mualem)-Fadhlullah (Dek Fad) nomor urut 02.
Keduanya pun menawarkan visi dan misi yang menarik untuk masa depan Aceh lima tahun mendatang.
Namun, sebagaimana dirilis oleh Infoaceh.net melalui survei Bravo Fanta Institute (BFI), baik Bustami-Fadhil maupun Mualem-Dek Fad memiliki kelebihan dan kelemahan yang menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk mempertimbangkan pilihan mereka (Baca : Ini Kelebihan dan Kelemahan Bustami-Fadhil dan Mualem-Dek Fad Menurut Lembaga Survei, Infoaceh.net, 7 Oktober 2024)
Namun, sebagaimana dalam setiap pemilihan, tidak ada paslon yang sempurna. Masing-masing paslon memiliki kelebihan dan kekurangan yang memengaruhi pandangan masyarakat.
Beberapa paslon mungkin kurang berpengalaman dalam mengelola pemerintahan, sementara yang lain kurang transparan dalam menyampaikan program-program mereka. Kekurangan ini sering kali menjadi pertimbangan masyarakat dalam menentukan pilihan.
Kekurangan pada masing-masing paslon gubernur Aceh yang sebelumnya dirilis oleh Infoaceh.net atas hasil survei Bravo Fanta Institute (BFI), memunculkan keresahan, terutama bagi penulis yang berharap pada figur pemimpin yang ideal.
Bagi sebagian pemilih, situasi ini dapat memicu dilema moral, apakah harus memilih di antara dua opsi yang dianggap kurang ideal, atau memilih untuk tidak berpartisipasi sama sekali (golput). Namun, pilihan untuk golput kerap dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Syekh Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkemuka, menegaskan, abstain dalam pemilihan umum, khususnya dalam konteks yang hanya menyisakan dua pilihan, adalah tindakan yang tidak diperbolehkan secara syariat.
Dalam fatwanya terkait Pemilihan Presiden Mesir 2012, beliau menekankan bahwa golput dapat membuka peluang bagi pihak yang membawa kebatilan untuk berkuasa. Hak suara, menurut Qardhawi, merupakan amanah yang harus digunakan untuk memilih pemimpin yang mendukung keadilan dan kebenaran.
Syekh Qardhawi juga mengingatkan umat Islam tidak ditipu oleh iming-iming materi, seperti politik uang, dalam menentukan pilihan.
Fatwa ini relevan dalam konteks Pilkada Aceh 2024, mengingat pentingnya memilih pemimpin yang membawa maslahat (kebaikan) bagi masyarakat.
Dalam menyikapi berbagai problema ini, konsep Lesser of Two Evils dan ushul fiqh menjadi relevan untuk diimplementasikan.
Lesser of Two Evils
Lesser of Two Evils dalam kamus Cambridge Dictionary, merujuk pada pemilihan antara dua pilihan yang sama-sama kurang menyenangkan, dengan memilih yang lebih kecil dampak negatifnya, agar nantinya ketika terpilih tidak membawa dampak negatif yang tidak terlalu besar.
Hans Morgenthau, seorang pemikir politik Jerman, memperkenalkan gagasan ini sebagai solusi moral dalam situasi politik yang kompleks.
Ia menyatakan ketika dihadapkan pada dua pilihan pemimpin yang sama-sama memiliki kelemahan atau sisi negatif, langkah terbaik memilih opsi yang dampak negatifnya lebih kecil, agar nantinya tidak membawa dampak negatif yang terlalu besar ketika terpilih.
Prinsip Lesser of Two Evils pernah diterapkan dalam konteks politik global, seperti dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Saat itu, masyarakat Amerika menghadapi dilema memilih antara Hillary Clinton dan Donald Trump.
Banyak pihak menganggap Hillary sebagai lesser evils, atau pilihan yang relatif lebih baik dibandingkan lawannya, untuk meminimalisasi risiko yang lebih besar bagi demokrasi.
Perspektif Ushul Fiqh
Dalam kaidah ushul fiqh, pemilihan pemimpin tidak hanya dilihat dari segi politik, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral dan etika.
Kaidah yang dijelaskan dalam Asybah wan Nazhair karya Imam As-Suyuthi pada halaman 87 menyatakan, “Ketika salah satu dari dua keburukan tidak dapat dihindari, maka pilihlah keburukan yang dampaknya lebih kecil.”
Kaidah ini mengajarkan bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, untuk menghindari mudharat lebih besar dan mencapai maslahat bagi masyarakat.
Dalam konteks Aceh, pemilih diharapkan dapat mempertimbangkan hal ini dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024.
Pilkada adalah momentum bagi masyarakat untuk menentukan arah masa depan daerah mereka. Meski tidak ada pasangan calon yang sempurna, memilih tetap menjadi tanggung jawab moral dan agama yang tidak bisa diabaikan.
Dalam situasi yang kompleks seperti ini, kaidah lesser of two evils dan ushul fiqh memberikan panduan bagi kita untuk memilih pemimpin yang membawa dampak negatif lebih kecil, demi maslahat yang lebih besar bagi masyarakat.
Namun, pilihan tetap ada di tangan setiap individu. Lalu, di antara pilihan yang ada, siapakah yang menurut Anda pemimpin yang paling sedikit kekurangannya dan mampu membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik?
Penulis:
Teuku Alfin Aulia (Kiri), Mahasiswa Penerima Beasiswa PBNU di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir dan Agamna Azka (Kanan), mahasiswa KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry