Oleh: Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA*
Embrio bayi syariat Islam di Aceh berbenih sejak disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
Lalu diperkuat dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Ketika terjadi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) 15 Agustus 2005 lahir lagi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai amanah dari MoU Helsinki. Ketika UUPA disahkan maka UU Nomor 18 tahun 2021 tidak berlaku lagi.
Serimonial deklarasi dan pembukaan berlakunya syari’at Islam di Aceh secara resmi dideklarasikan pada tahun 2002 yang dimeriahkan oleh kedatangan beberapa orang menteri negara plus ketua Mahkamah Agung ke Aceh di tahun baru Hijriah hari Jum’at 1 Muharram 1423 Hijriah/15 Maret 2022.
Tahun 2003 masa pemerintahan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dengan Prof Alyasa’ Abubakar sebagai Kepala Dinas Syariat Islam disahkan tiga qanun paling awal di Aceh: Qanun Nomor 12 tentang Khamar, Qanun Nomor 13 tentang Maisir dan Qanun Nomor 14 tentang Khalwat.
Pada waktu itu para alim ulama dan pembesar Aceh sepakat untuk menerapkan syariat Islam di Aceh secara perlahan, muslihat, lembut, bersahaja namun pasti. Untuk itulah dimulai dari tiga jarimah dalam tiga qanun tersebut, yang satu jarimah hudud dan dua lainnya masuk wilayah jarimah ta’zir.
Semua itu dilakukan untuk menjaga perasaan dan kemuslihatan Aceh agar secara perlahan bangsa Islam di Aceh menyatu dengan syariah.
Hari ini amal baik para orang tua dahulu sudah ada hasilnya sehingga masyarakat sendiri yang meminta untuk diperluas wilayah implementasi syariah di Aceh.
Maka dalam masa pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah (Abu Doto) disahkanlah Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
10 poin jarimah yang tertera dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 adalah: Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Zina, Pelecehan Seksual, Pemerkosaan, Qadzaf, Liwath dan Musahaqah.
Semua itu sudah berlaku dan berjalan di Aceh dan sudah terjadi punishment (‘uqubat) terhadap pelanggaran qanun tersebut. Ini menunjukkan implementasi syariat Islam di Aceh tidak gagal, hanya berjalan secara perlahan dan sedikit lambat dikarenakan para pemimpin Aceh mulai dari Wali Nanggroe, gubernur, bupati, wali kota serta para kepala dinas, kepala badan dan kepala biro belum menyatu dan belum memiliki kapasitas syariah dalam tubuh badannya.
Jadi kalau dikatakan syariat Islam di Aceh telah gagal salah dan tidak benar, buktinya ia masih berjalan dan ada pemberlakuan hukuman.
Berlakunya syariat Islam di Aceh merupakan efek dari konflik bersenjata GAM dengan Pemerintah RI yang menelan korban tak terhitungkan. Sebelum GAM menuntut kemerdekaan Aceh dari RI syariat Islam tidak pernah diwujudkan di Aceh oleh RI, malah pasca damai gerakan DI/TII antara Aceh dengan RI tahun 1962, Aceh tertipu dan ditipu oleh RI dengan memberikan gelar Daerah Istimewa terhadap Aceh dalam bidang agama, bidang Adat istisadat dan bidang pendidikan, namun liciknya RI tidak pernah memberikan Undang-undang seperti hari ini sehingga Aceh ibarat orang menerima cek kosong dari RI yang ketika mau narik di bank uangnya tidak ada. Tertipuuuuu.
Ketika RI kewalahan memadamkan GAM maka RI menawarkan segala macam untuk Aceh selain merdeka, tatkala itulah pihak ketiga Aceh selain pihak GAM dan RI berinisiasi untuk menawarkan syariat Islam sebagai peredam konflik yang berkepanjangan.
Upaya tersebut terkoneksi dengan bencana gempa dan tsunami besar yang melanda Aceh sehingga dua pihak yang bermusuhan tersebut yang dahulu menutup pintu perundingan bersedia berunding untuk mencari solusi perdamaian di Aceh. Dari situlah lahir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang menuntut untuk lahirnya UUPA.
Dengan UUPA tersebutlah implementasi syariat Islam di Aceh semakin transparan dan absolut sehingga bangsa Islam di Aceh merasa senang dan gembira walaupun para penguasa yang terkena penyakit Sepilis (Sekuler, Pluralis dan Liberalis) sedikit linglung, ibu-ibu aktivis gender mulai muram karena takut dengan berlaku syariat Islam di Aceh terbuka peluang suami-suaminya akan berpoligami.
Namun semua itu terjawab oleh zaman yang berbicara sehingga hari ini bangsa Islam Aceh sangat menyatu dengan implementasi syariat Islam di Aceh dan syariat Islam di Aceh tidak gagal dengan kandungan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 berjalan lancar dan para pelanggarnya seperti penjudi, peliwath, pengkhalwat, pezina dan lainnya dihukum cambuk sesuai kandungan qanun, itu terjadi sampai tahun 2022 ini.
Implementasi syariat Islam di Aceh berjalan dengan baik tetapi lamban, ini bukan berarti gagal, tetapi lamban. Kalau ada orang yang mengatakan pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah gagal, orang itu tidak mengikuti perjalanan syariat Islam di Aceh atau tidak paham tentang hukum Islam yang sedang berlaku di Aceh karena bukan bidang yang ditelusurinya atau ia paham tetapi tidak senang dengan implementasi syariat Islam di Aceh.
Kalau itu yang terjadi maka orang itu sama seperti pemain bola yang mencetak gol ke gawang sendiri, kalau ini yang terjadi maka bahaya besar untuk implementasi syariat Islam di Aceh karena orang Aceh sendiri tidak mengerti pemberlakuan syariah di Aceh.
Efeknya media anti syariah mulai merebus isu tersebut untuk memojok pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Merebus itu beda dengan menggoreng, kalau menggoreng panasnya cepat berlalu tetapi kalau merebus panasnya lambat berakhir karena ada kuahnya yang mempertahankan panas seperti beda mie goreng dengan mie rebus.
Karenanya seorang Aceh yang punya jabatan apalagi jabatannya masih baru mesti berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan statemen dalam forum-forum tertentu, efeknya bisa menjerat diri sendiri, sebaiknya bicara apa yang ada dalam kapasitas dirinya sebagai seorang ilmuan agar tidak gagal paham.
Pertanyaan hari ini adalah kenapa pelaksanaan syariat Islam di Aceh berjalan lamban? Jawabannya ada pada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak yang bertanggung jawab berjalannya syariat Islam di Aceh sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari’at Islam pasal 5, 6 dan 8 yang berlaku.
Dalam Bab III pasal 4 ayat (1) qanun tersebut berbunyi: Syari’at Islam dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi pada setiap tingkatan pemerintahan di Aceh di bawah arahan Wali Nanggroe.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Wali nanggroe mengetahui pasal 4 ayat (1) tersebut sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya?
Kalau dihitung dari tahun 2002 yang berlaku tiga qanun untuk tiga jarimah, lalu tahun 2014 berlaku qanun yang menetapkan 10 jarimah berlaku di Aceh sudah berjalan 12 tahun dan dari 2014 sampai 2022 sudah berjalan delapan tahun, semestinya konsep hukum pidana Islam (fiqh jinayah) yang terdiri atas qishash/diyat, hudud dan ta’zir harus sudah diimplementasikan di Aceh.
Bukan hanya itu, enam fikih yang terdapat dalam syari’ah, yakni fiqh ibadah, fiqh mawaris, fikih mu’amalah, fikih siyasah, fikih munakahah dan fikih jinayah harus berlaku penuh di Aceh sesuai dengan ketentuan Bab II pasal 2 Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.
Tidak ter-covernya point-point tersebut dalam amalan syariat Islam di Aceh bukan berarti pelaksanaan syariat Islam telah gagal melainkan lamban disebabkan oleh lalainya Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota serta Wali Nanggroe yang semua mereka makan gaji untuk melaksanakan dan memajukan syariat Islam di Aceh, bukan malah untuk duduk bertumpang dagu.
Bek lagei ureueng jak u la-ot, beungoh geutubiet geuba jeue, cot uroe geugisa geupuwoe saboh plastik eungkot (pagi pergi ke laut membawa jaring, tengah hari pulang membawa satu plastik ikan).
Tidak pernah terbayang dalam kepalanya untuk memperoleh ikan yang lebih banyak untuk dijual dan mendapatkan banyak duit, mencari ikan hanya sekedar untuk sehari makan.
Pemerintah Aceh dan kabupaten kota harus bijak melaksanakan dan memajuklan syariat Islam di Aceh, jangan pandai merebut kursi gubernur, bupati/wali kota tetapi tidak tahu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Lebih-lebih lagi seorang Wali Nanggroe yang tidak punya Nanggroe yang oleh beberapa anggota DPRA mau dipertahankan seumur hidup, untuk apa? Untuk mematikan syariat Islam di Aceh?
Dengan adanya Dinas Syariat Islam, adanya muhtasib yang bergerak di lapangan, terjadinya penangkapan terhadap pelanggar qanun, terjadinya penyidangan di Mahkamah Syar’iyah dan terjadinya ‘uqubat sebagai hukuman yang ditetapkan dalam qanun selama ini, maka itu menjadi bukti implementasi syari’at Islam di Aceh tidak gagal.
Yang gagal adalah peran Wali Nanggroe, gubernur, bupati/wali kota yang sama sekali tidak menjalankan ketentuan qanun, baik Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat maupun Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Satu hal lagi yang keliru dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah ketika Dinas Syari’at Islam dibebani penuh untuk menjalankan syari’at Islam di Aceh, sementara dinas-dinas lain plus gubernur, bupati dan wali kota tinggal keutep-keutep jaroe tidak berbuat apa-apa tentang syariat Islam.
Yang benar mengikut ketentuan qanun sebagaimana yang telah kita bahas di atas adalah gubernur, bupati/wali kota berposisi sebagai panglima dan komandan lapangan untuk implementasi syariat Islam di Aceh.
Kondisi seperti itu tidak akan terwujud kalau sistem demokrasi masih digunakan dalam pemilihan pemimpin di Aceh, untuk itu pula Pemerintah Aceh harus segera melahirkan qanun siyasah untuk keperluan politik di Aceh sebagai bagian dari implementasi syariat Islam di Aceh.
*Penulis adalah Ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh