Syariat Islam di Aceh Belum Gagal
Semua itu sudah berlaku dan berjalan di Aceh dan sudah terjadi punishment (‘uqubat) terhadap pelanggaran qanun tersebut. Ini menunjukkan implementasi syariat Islam di Aceh tidak gagal, hanya berjalan secara perlahan dan sedikit lambat dikarenakan para pemimpin Aceh mulai dari Wali Nanggroe, gubernur, bupati, wali kota serta para kepala dinas, kepala badan dan kepala biro belum menyatu dan belum memiliki kapasitas syariah dalam tubuh badannya.
Jadi kalau dikatakan syariat Islam di Aceh telah gagal salah dan tidak benar, buktinya ia masih berjalan dan ada pemberlakuan hukuman.
Berlakunya syariat Islam di Aceh merupakan efek dari konflik bersenjata GAM dengan Pemerintah RI yang menelan korban tak terhitungkan. Sebelum GAM menuntut kemerdekaan Aceh dari RI syariat Islam tidak pernah diwujudkan di Aceh oleh RI, malah pasca damai gerakan DI/TII antara Aceh dengan RI tahun 1962, Aceh tertipu dan ditipu oleh RI dengan memberikan gelar Daerah Istimewa terhadap Aceh dalam bidang agama, bidang Adat istisadat dan bidang pendidikan, namun liciknya RI tidak pernah memberikan Undang-undang seperti hari ini sehingga Aceh ibarat orang menerima cek kosong dari RI yang ketika mau narik di bank uangnya tidak ada. Tertipuuuuu.
Ketika RI kewalahan memadamkan GAM maka RI menawarkan segala macam untuk Aceh selain merdeka, tatkala itulah pihak ketiga Aceh selain pihak GAM dan RI berinisiasi untuk menawarkan syariat Islam sebagai peredam konflik yang berkepanjangan.
Upaya tersebut terkoneksi dengan bencana gempa dan tsunami besar yang melanda Aceh sehingga dua pihak yang bermusuhan tersebut yang dahulu menutup pintu perundingan bersedia berunding untuk mencari solusi perdamaian di Aceh. Dari situlah lahir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang menuntut untuk lahirnya UUPA.
Dengan UUPA tersebutlah implementasi syariat Islam di Aceh semakin transparan dan absolut sehingga bangsa Islam di Aceh merasa senang dan gembira walaupun para penguasa yang terkena penyakit Sepilis (Sekuler, Pluralis dan Liberalis) sedikit linglung, ibu-ibu aktivis gender mulai muram karena takut dengan berlaku syariat Islam di Aceh terbuka peluang suami-suaminya akan berpoligami.