INFOACEH.NET, BANDA ACEH — Menjelang penetapan pasangan calon gubernur pada 22 September 2024, elemen sipil Aceh menyoroti adanya ketidakjelasan terkait jadwal paripurna yang seharusnya dilaksanakan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk penandatanganan pernyataan bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA bagi pasangan bakal calon gubernur/wakil gubernur Aceh Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi.
“Kami melihat situasi ini sebagai indikasi kuat adanya rekayasa yang disengaja untuk menggagalkan salah satu pasangan calon gubernur,” ujar Juru Bicara Elemen Sipil Aceh Zulfikar Muhammad, dalam pernyataannya, Sabtu malam (21/9/2024).
Lebih dari itu, Zulfikar menilai, jika benar salah satu pasangan calon tidak menandatangani komitmen untuk menjalankan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan butir-butir MoU Helsinki, seharusnya mereka tetap diluluskan karena semua dokumen telah sesuai dengan Undang-undang Pilkada.
“Kami menegaskan bahwa seluruh calon seharusnya memenuhi syarat yang ditetapkan dalam undang-undang Pilkada,” terangnya
Elemen sipil berpendapat bahwa UUPA dan MoU Helsinki adalah dokumen sakral yang mengatur kepemimpinan di Aceh. Artinya, Pasal 24 e mengharapkan siapa pun yang ingin memimpin Aceh atau mencalonkan diri sebagai gubernur harus berkomitmen menjalankan UUPA dan MoU Helsinki.
Namun, tindakan DPRA yang tidak konsisten menandakan bahwa MoU tersebut kini tidak lagi dianggap sakral, melainkan hanya pepesan kosong.
“Ini menunjukkan bahwa kepentingan politik kelompok mengalahkan kepentingan rakyat,” sebutnya.
DPRA seharusnya menempatkan MoU sebagai prioritas untuk ditandatangani oleh pasangan calon, bukan sekadar sebagai alat untuk memenangkan salah satu calon.
MoU Helsinki adalah milik rakyat Aceh, dan semua rakyat berhak untuk menandatangani dan berkomitmen pada isi dokumen tersebut.
Sikap DPRA saat ini menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap MoU Helsinki
“Kami juga mendesak Komisi Independensi Pemilihan (KIP) untuk mengambil langkah tegas terhadap DPRA agar segera melaksanakan paripurna. Penghambatan proses pemilihan kepala daerah ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam stabilitas politik di Aceh dan mengabaikan agenda strategis nasional. Jika DPRA terus menghalangi, mereka akan dianggap melawan hukum dan negara Republik Indonesia,” katanya.
KIP memiliki tanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan Qanun Pilkada dan menjalankan peraturan yang berlaku. Jika KIP tidak mampu melaksanakannya, KIP harus mempertimbangkan untuk meninggalkan qanun yang tidak efektif dan berpegang pada Undang-undang yang lebih tinggi.
Jika tidak siap untuk melaksanakan Qanun Pilkada, sebaiknya tinggalkan qanun tersebut dan tetap berpegang pada Undang-undang Pilkada serta PKPU yang dikeluarkan KPU RI. Jika tidak, KIP berisiko diberhentikan karena dianggap tidak mampu menjalankan perundang-undangan.
“Peraturan perundang-undangan ini harus dijalankan secara absolut oleh KIP Aceh. Ini menjadi dilema, karena kita melihat DPRA dan KIP seperti anak-anak dalam konteks kontestasi pemilihan. Biarkan rakyat memilih pasangan calon yang mereka inginkan, tanpa ada upaya menjegal proses pemilihan. Tindakan ini sangat memalukan, dan seharusnya lembaga negara, dalam hal ini DPRA, lebih fokus pada kepentingan nasional dan Aceh secara keseluruhan.
Kami siap menghadapi hasil penetapan pasangan calon pada 22 September 2024,” ujarnya.
Jika kedua pasangan dinyatakan memenuhi syarat untuk ikut serta dalam pemilihan, elemen sipil Aceh akan menyerahkan keputusan kepada rakyat untuk memilih.
“Namun, jika hanya satu pasangan yang memenuhi syarat akibat rekayasa, elemen sipil akan memilih untuk mendukung “tong kosong” yang insya Allah akan menang di Aceh,” pungkas Zulfikar Muhammad, Juru Bicara, Jubir Elemen Sipil Aceh.