Oleh: Muhammad Saman*
LAJU PASANGAN calon wali kota/wakil wali kota Banda Aceh nomor urut 01 Illiza Sa’aduddin Djamal-Afdhal Khalilullah tak terbendung lagi menuju ke Balai Kota di Jalan Abu Lam U Banda Aceh.
Hal itu diketahui setelah pasangan Illiza-Afdhal berhasil unggul dalam perolehan suara pemilihan wali kota/wakil wali kota di Pilkada Banda Aceh 2024 yang berlangsung Rabu, 27 November 2024.
Dari perhitungan tim internal, perolehan suara Illiza-Afdhal yang diusung Partai Gerindra, PPP dan Golkar unggul di seluruh atau 9 kecamatan di Kota Banda Aceh tanpa mampu dikejar oleh tiga paslon lainnya.
Illiza-Afdhal meraih suara terbanyak di Pilkada Banda Aceh yaitu 44.891 suara (41,22 persen).
Kemudian paslon nomor urut 02 Zainal Arifin-Mulia Rahman meraih 8.947 suara (8,22 persen.
Paslon nomor urut 03 Aminullah Usman-Isnaini Husda memperoleh 25.123 suara (23,07 suara) dan paslon nomor urut 04 Teuku Irwan Djohan-Khairul Amal yang mendapatkan 29.934 suara (27,49 persen).
Pasangan Illiza-Afdhal unggul di Kecamatan Kuta Alam yang memperoleh 6.814 suara, Kecamatan Syiah Kuala 5.904 suara, Kecamatan Baiturrahman 5.704 suara, Kecamatan Meuraxa 5.252 suara, Kecamatan Lueng Bata 4.864 suara, Kecamatan Ulee Kareng 4.828, Kecamatan Jaya Baru 4.294 suara, Kecamatan Banda Raya 4.353 suara, Kecamatan Kutaraja 2.878 suara.
Kemenangan yang diraih oleh pasangan Illiza-Afdhal di Pilkada kali ini tidaklah mudah.
Illiza kembali diserang dan dihantam bertubi-tubi dengan black campaign di Pilkada 2024 yaitu isu perempuan ‘haram’ jadi pemimpin. Serangan yang sama juga pernah dialami Illiza di Pilkada 2017 lalu saat berpasangan dengan kader PKS, Farid Nyak Umar.
Di Pilkada tahun ini, Illiza Sa’aduddin Djamal, sebagai calon kepala daerah perempuan di Aceh masih harus berjibaku melawan narasi bahwa perempuan ‘haram’ jadi pemimpin dan perempuan berbuat dosa kalau mencalonkan diri menjadi pemimpin.
Pro dan kontra soal boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin selalu muncul di Aceh saat musim pilkada, dengan isu yang sama Illiza pernah kalah di Pilkada 2017.
Sebelumnya pada Pilkada Banda Aceh 2017, Illiza yang berpasangan dengan Farid Nyak Umar sempat dihajar dengan isu penolakan pemimpin perempuan sehingga keok melawan pasangan Aminullah Usman-Zainal Arifin kala itu.
Masyarakat Aceh sendiri punya pandangan beragam soal isu ini, sebagian tak terpengaruh, sementara lainnya mengiyakan narasi tersebut.
Mereka yang setuju perempuan “haram” menjadi pemimpin mengacu pada pernyataan ulama kharismatik Aceh, Tgk H Hasanoel Bashry HG atau Abu Mudi, Pimpinan Dayah Mudi Mesra Samalanga Bireuen yang juga menjabat petinggi partai politik lokal Aceh yaitu Partai Adil Sejahtera (PAS). Abu Mudi menjabat sebagai Ketua Majelis Nashihin PAS Aceh.
Sebaliknya, mereka yang berupaya menandingi narasi itu dan memperjuangkan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin dianggap “menentang syariat”.
Hal ini membuat kontestasi pilkada di Aceh menjadi arena yang sulit ditembus oleh perempuan.
Namun, Illiza Sa’aduddin Djamal mengaku tak gentar dan goyah dengan isu penolakan pemimpin perempuan di Pilkada 2024 yang kembali digulirkan oleh lawan-lawan politiknya untuk menghadang langkah Illiza, tokoh perempuan Aceh yang juga mantan Anggota Komisi X DPR RI asal Aceh.
Mengenai isu larangan perempuan menjadi pemimpin yang sempat menerpanya saat Pilkada 2017, Illiza menegaskan di Pilkada kali ini masyarakat Banda Aceh sudah lebih cerdas tak mempan lagi dengan isu-isu murahan macam itu.Dia optimistis bahwa lebih dari 60 persen masyarakat tidak akan terprovokasi oleh isu tersebut.Menurut Illiza, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh dan MPU Provinsi Aceh tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin di level wali kota.“Jika saya sebagai perempuan tidak boleh jadi pemimpin dan maju calon wali kota, maka anggota DPR RI, DPRA, DPRK, kepala dinas atau kepala sekolah pun tidak boleh,” tegas Illiza Sa’aduddin Djamal saat mendaftarkan diri maju calon wali kota Banda Aceh di Kantor KIP, Rabu (28/8/2024).
Sebelumnya, ulama kharismatik Aceh, Syekh Tgk H Hasanoel Bashri HG atau yang akrab disapa Abu Mudi saat menjawab pertanyaan seorang jamaah pengajian Tastafi pada tahun 2016 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan videonya disiarkan di akun Youtube, dalam sebuah penjelasan, Abu Mudi mengutip ayat Al-Qur’an yang menyatakan, “Arrijalu qawwamuna ‘alannisa’,” yang bermakna lelaki adalah pemimpin bagi perempuan.
Abu Mudi menjelaskan, dalam Islam, seorang pemimpin haruslah seorang lelaki yang merdeka, berakal, sehat jasmani, dan memiliki kemampuan yang memadai.
“Ureung Agam yang mengurus ureung inong (lelaki yang memimpin perempuan),” tegas Abu Mudi, merujuk pada pandangan agama yang menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah peran yang seharusnya diemban oleh seorang lelaki, bukan perempuan.
Lebih lanjut, Abu Mudi menekankan seorang perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, baik dalam tingkat daerah maupun lainnya, dianggap telah melakukan dosa.
“Ureung inong meunyoe kageucalon ka dipeubeut desya,” ujar Abu Mudi, yang bermakna bahwa perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin telah melakukan perbuatan yang tidak sah menurut hukum agama, sehingga baik yang mencalonkan, memilih, maupun melantik, semuanya dianggap turut berdosa.
Pandangan ini, menurut Abu Mudi, diambil dari berbagai kitab yang menjadi rujukan dalam ajaran Islam, yang menyebutkan syarat-syarat bagi seseorang untuk menjadi pemimpin
Pernyataan itu berkembang menjadi narasi yang dikaitkan dengan konteks pilkada Banda Aceh pada 2017 untuk menghadang Illiza Sa’aduddin Djamal.
Saat itu, narasi tersebut dicetak dalam bentuk spanduk dan poster yang dipasang di perempatan jalan, di tiang listrik, di mana-mana, dengan foto Abu Mudi.
Pada saat itu, tak ada yang berhasil melawan narasi tersebut. Gerakan perempuan bahkan disebut “tiarap” menghadapinya.
Pada saat itu, ada ulama ternama Aceh lainnya yang menyuarakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin. Salah satunya adalah almarhum Tgk Muhammad Amin atau Abu Tumin Blang Blahdeh, yang juga dikenal luas oleh masyarakat Aceh.
Isu tolak pemimpin perempuan tersebut kemudian lenyap selepas momen pilkada.
Namun, menjelang Pilkada 2024, narasi yang sama kembali bergaung. Pernyataan Abu Mudi lagi-lagi dikaitkan dengan konteks pilkada.
Lagi-lagi muncul perang narasi soal boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Setidaknya itu yang terlihat disebarluaskan lewat media sosial.
Beragam komentar bernada sama juga muncul. Antara lain menyatakan bahwa di Al-Qur’an “sudah tertulis kalau kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin”.
Ada pula yang menyatakan mendukung pernyataan ulama tersebut, sehingga mau mendahulukan pemimpin laki-laki.
Pegiat perempuan Aceh, Raihal Fajri meyakini bahwa narasi anti-pemimpin perempuan ditunggangi kepentingan politik praktis.
Raihal meyakini bahwa narasi anti-pemimpin perempuan itu adalah bagian dari “kampanye hitam” yang digunakan oleh kubu tertentu untuk kepentingan politik praktis.
Itu karena narasi ini hanya muncul jelang pilkada. Ketika pemilu legislatif misalnya, narasi ini tak muncul menerpa caleg perempuan.
“Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini murni yang dilakukan oleh ulama tersebut, sadar atau tidak. Ulama ini kemudian kan ‘digunakan’ oleh para pihak untuk isu-isu perempuan yang tidak boleh jadi pemimpin untuk kepentingan politik kandidat tertentu,” tuturnya dikutip dari BBC.
Illiza adalah satu-satunya kandidat perempuan di antara empat calon wali kota Banda Aceh. Ini adalah kali kedua dia mencalonkan diri sebagai wali kota.
Pada 2017 lalu, Illiza dikalahkan oleh Aminullah Usman, yang saat ini juga maju kembali dalam Pemilihan Wali Kota Banda Aceh 2024.
Illiza mengaku bahwa kekalahan itu terjadi karena dia diterpa isu bahwa perempuan “haram” menjadi pemimpin.
“Karena dari sisi mana lagi mereka mau masuk? Akhirnya masuknya dari sisi itu,” kata Illiza.
Illiza bukan politisi kemarin sore. Dia sudah terjun ke dunia politik sejak 2004 menjadi Anggota DPRK Banda Aceh, ketika masih berusia 30 tahun.
Pada 2007-2012, Illiza menjadi wakil wali kota Banda Aceh, yang berpasangan dengan Ir Mawardy Nurdin.
Kemudian pasangan Mawardy-Illiza kembali terpilih untuk periode kedua 2012-2017.
Pada 2014-2017, Illiza menggantikan wali kota Mawardy Nurdin yang meninggal dunia.
Setelah gagal jadi wali kota di Pilkada 2017, Illiza malah terpilih menjadi anggota DPR RI pada 2019.
Dia kembali terpilih pada Pemilihan Legislatif 2024, tapi langkahnya ke Senayan gagal karena partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak lolos ambang batas parlemen.
Illiza memiliki latar belakang sosial politik yang kuat. Kakeknya adalah Abu Lam U, seorang ulama ternama di Aceh. Ayah dan ibunya juga politisi, sama-sama pernah menjadi anggota DPR Kota Banda Aceh.
Dengan modal itu sekalipun, Illiza tak lepas dari terpaan isu yang mendiskreditkan perempuan.
“Kalau legislatif, kayaknya enggak pernah ada isu perempuan enggak boleh. Giliran eksekutif, baru keluar itu haram pemimpin perempuan,” ujarnya.
Isu haramnya perempuan menjadi pemimpin sebagai salah satu dari sejumlah faktor penyebab kekalahan Illiza di Pilkada 2017.
Dalam studi itu, sebanyak 54% dari 100 responden menyatakan tak setuju kalau perempuan menjadi pemimpin.
Namun Pilkada 2014 ini, Illiza mengaku cukup percaya diri bahwa isu itu tak akan mengalahkannya.
“Masyarakat kan lama-lama sudah paham. Dengan adanya ceramah-ceramah dari para ustaz-ustaz, kiai. Itu juga cukup membantu kami,” ujarnya.
Illiza mengatakan tidak ada satu pun Qanun—peraturan daerah yang menerapkan syariat Islam, juga dikenal sebagai hukum jinayat—yang melarang perempuan tidak boleh memimpin di Aceh.
Dia menduga pernyataan Abu Mudi “dimanfaatkan” oleh calon-calon tertentu do Pilkada Banda Aceh yang mungkin takut kalah melawan perempuan.
“Mereka yang melakukan itu pecundang sebetulnya, takut sama perempuan,” kata dia.
Illiza mendesak Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Pengawas Pemilihan (Panwaslih) semestinya menindak tegas kampanye semacam ini.
“Di dalam Pilkada ini kalau mengatakan perempuan tidak boleh diangkat, harusnya ini menjadi black campaign. Harusnya kita beradu argumen, apa program untuk masyarakat, itu yang harus ditampilkan. Jangan black campaign-nya didiamkan,” kata Illiza.
Ketua KIP Aceh, Agusni, mengatakan bahwa narasi itu “mungkin muncul secara personal”. Secara aturan, tak ada yang membatasi perempuan untuk mencalonkan diri di Aceh.
“Tapi secara kelembagaan sampai sejauh ini kami belum melihat atau mendapatkan atau seruan agar dari kalangan perempuan itu tidak boleh jadi pemimpin atau kepala daerah,” kata Agusni.
Secara aturan, KIP Aceh menegaskan tak ada aturan yang melarang perempuan mencalonkan diri. Menurutnya, menjadi tugas Panwaslih untuk menindak dugaan kampanye hitam.
Da’i kondang nasional asal Riau Ustaz Abdul Somad (UAS) turut menyampaikan pandangannya tentang hukum perempuan menjadi pemimpin menjelang Pilkada 2024.
Pernyataan itu diungkapkan UAS dalam tabligh akbar yang digelar di Arena PKA, Taman Sultanah Safiatuddin, Lampriet, Banda Aceh, Ahad malam (17/11/2024).
Dalam tausiahnya, UAS mengungkapkan pandangan terkait posisi perempuan sebagai pemimpin, dengan merujuk pada pandangan para ulama.
Menurutnya, pemimpin yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut, seperti Khalifah atau Amirul Mukminin, yang berwenang memimpin seluruh umat Islam.
“Memang betul, tidak boleh pemimpin itu perempuan, haram hukumannya jika pemimpin tersebut perempuan. Yang dimaksud dengan pemimpin ini adalah pemimpin seluruh dunia, yang disebut dengan Khalifah atau Amirul Mukminin,” ungkap UAS.
UAS menegaskan hal itu sudah disepakati oleh seluruh ulama. “Pemimpin yang absolut, tak terbantahkan, namanya khalifah, Amirul Mukminin, itu tidak boleh perempuan,” lanjut UAS.
Namun, UAS memberi penjelasan bahwa hukum ini tidak berlaku untuk pemimpin dengan kekuasaan terbatas, seperti kepala dinas, kepala kantor, kepala daerah, atau posisi-posisi lain yang tidak memiliki kekuasaan absolut.
Ia menyontohkan jabatan seperti wali kota, bupati, gubernur, kapolres atau kapolda yang bisa dipilih dan digantikan jika diperlukan.
“Adapun pemimpin yang kekuasaannya terbatas, seperti kepala dinas, kepala kantor, kepala kota, kapolres, kapolda, bahkan wali kota, menurut ulama, boleh dijabat oleh perempuan. Karena kekuasaan tersebut tidak absolut dan bisa dijatuhkan atau dipecat,” jelas UAS.
UAS menambahkan meskipun dalam posisi-posisi tersebut, seorang perempuan masih bisa memimpin, namun jabatan khalifah dengan kewenangan yang mutlak tetap dihindari untuk perempuan.
“Wali kota itu bukan kekuasaan yang absolut, kalau melanggar bisa dijatuhkan. Karena itulah ulama bersepakat perempuan boleh menjadi pemimpin setingkat wali kota, gubernur dan sebagainya,” ungkap alumni Universitas Al Azhar Kairo Mesir ini.
Kini, Pilkada 2024 telah usai. Di Banda Aceh Illiza yang berpasangan dengan Afdhal Khalilullah meraih suara terbanyak, dan lajunya kembali ke Balai Kota tak terbendung lagi meski dihadang isu ‘haram’ pemimpin perempuan.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi INFOACEH.NET