Infoaceh.net, Aceh Utara — Korban pelanggaran HAM tragedi Simpang KKA, Aceh Utara memandang surat rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA tanggal 7 November 2024 yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR) Aceh adalah upaya menghalangi akses keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.
Karena Qanun KKR Aceh, yang disahkan tahun 2013, dirancang untuk mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik berkepanjangan di Aceh dan sejarah terbentuknya Qanun KKR Aceh berkat perjuangan panjang korban dan elemen masyarakat sipil yang peduli terhadap penegakan Hak Asasi Manusia.
“Bila Qanun KKR Aceh dicabut, ini berpotensi menghalangi akses keadilan bagi korban dan keluarga korban, menimbulkan ketidakpuasan dan berdapak cukup luas karena merusak kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, serta berdapak terhadap proses perdamaian yang telah dibangun,” ujarvKoordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP. KKA) Murtala, Sabtu (16/11/2024).
Lebih lanjut Koordinator FK3T-SP. KKA Murtala menyampaikan, tanpa adanya mekanisme formal yang disediakan oleh Qanun KKR tersebut, banyak korban pelanggaran HAM akan kehilangan harapan untuk mendapatkan pengakuan dan reparasi yang seharusnya menjadi hak korban, dan tentunya akan menambah beban psikologi bagi korban dan keluarga yang merasa dikhianati oleh Pemerintah.
Rekomendasi Kemendagri untuk mencabut Qanun KKR Aceh, menunjukkan sikap Pemerintah yang tidak mendukung upaya rekonsiliasi dan pemulihan masyarakat korban pelanggaran HAM di Aceh.
Seharusnya Pemerintahan melihat proses rekonsiliasi tidak hanya bergantung pada penguatan hukum, akan tetapi juga pada kesepakatan sosial dan politis yang perlu dijaga.
Pemerintah juga harus memahami bahwa keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Aceh merupakan simbol sekaligus roh perdamaian Aceh.
Koordinator FK3T-SP. KKA khawatir Pemerintah tidak berusaha memahami dan menyelesaikan dampak pelanggaran HAM dari konflik Aceh.
“Karena itu, sekali lagi kami katakan rekomendasi tersebut berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan, dimana kami telah berjuang untuk pengakuan untuk hak-hak kami para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Aceh,” terangnya.
Di sisi lain, lanjut Murtala, korban pelanggaran HAM menaruh harapan besar kepada Pj Gubenur Aceh agar dalam merespon surat Mendagri untuk lebih berhati-hati terutama menjaga perasaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Aceh yang menantikan pemulihan secara berkadilan dan bermartabat.
“Kami juga berharap rekomendasi Mendagri tersebut ditolak dan melanjutkan pembahasan revisi Qanun KKR Aceh secara baik dan sempurna,” harapnya.
Kalaupun dipaksakan apakah ada pendekatan baru dalam penyelesaian konflik dan penegakan hukum, harus ada kerangka kerja yang jelas dan berkomitmen untuk menggantikan mekanisme KKR sebelumnya.
Tanpa adanya jaminan ini, Qanun KKR Aceh akan kehilangan landasan hukum yang terpenting dalam proses mencari kebenaran dan keadilan.
Murtala menambahkan, terkait keberadaan Badan Reintergrasi Aceh (BRA) itu hal berbeda, karena BRA Aceh fokus pada reintegrasi masyarakat paska konflik, sedang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Aceh bertanggung jawab dalam aspek rekonsiliasi dan pemulihan.
Karena itu jika qanun ini dicabut, Aceh akan kehilangan lembaga khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan ini adalah pengkhianatan terhadap hak-hak korban dan keluarga korban sekaligus upaya pengkhianatan terhadap perjanjian damai MoU Helsinki dan kekhususan Aceh.
“Rekomendasi Kemendagri tersebut telah menimbulkan dampak kompleks bagi korban pelanggaran HAM dan proses perdamaian di Aceh yang berkelanjutan, sebagai wilayah yang telah mengalami trauma mendalam akibat konflik, pemulihan dan keadilan seharusnya ditempatkan sebagai prioritas utama,” cetus Sekretaris FK3T-SP. KKA, Yusrizal.
Mengabaikan komitmen ini sama dengan memperparah luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, konon lagi Penyelesaian Non-Yudisial yang digagas masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, juga masih banyak yang belum selesai karena kerja setengah hati dan menjadi PR yang harus ditindaklanjuti dalam rangka Pemulihan terhadap 12 kasus Pelanggaran HAM di seluruh Indonesia yang telah diakui oleh Presiden Jokowi masa itu.
“Bukan malah melempar wacana untuk penghapusan Qanun KKR Aceh, seharusnya pemerintah bersyukur adanya Qanun KKR Aceh dan mungkin Pemerintah juga dapat mengadopsi untuk melahirkan KKR Nasional,” tegasnya.
Karena itu, Koordinator FK3T-SP KKA Murtala berharap Pemerintah jangan merusak dan memperkeruh suasana damai Aceh dengan usulan untuk mencabut Qanun KKR Aceh.
“Pemulihan hak-hak korban Pelanggaran HAM masa lalu haruslah menjadi agenda prioritas untuk memperkuat perdamaian di Aceh yang wajib ditindaklanjuti oleh Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” tutup Murtala.