INFOACEH.NET, BANDA ACEH — Muhammad Saleh, Juru Bicara (Jubir) pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Nomor Urut 02, Muzakir Manaf (Mualem)-Fadhullah (Dek Fad) menilai, Jubir Paslon 01 Syakya Meirizal sedang berusaha provokasi masyarakat sambil membunuh karakter Mualem.
Dalihnya, Syakya menyoal koridor moral dan etika politik Mualem yang juga Waliyul Ahdi atau Wakil Wali Nanggroe serta Dewan Pengawas (Dewas) BPMA, sekaligus calon Gubernur Aceh pada Pilgub Aceh, 27 November mendatang.
“Hanya saja karena keterbatasan literasi, khususnya soal aturan dan regulasi, serta makna moral dan etika politik, sehingga Syakya panik jika tak elok saya tegaskan sedang mengalami ‘cacat nalar’” kata Shaleh, Sabtu (2/11).
Alasannya, selama ini apa yang dia ucapkan di media sosial dan media pers, tak ada yang mengklarifikasi karena berbagai alasan personal Syakya, sehingga dan seolah-olah apa yang dia sampaikan menjadi benar adanya.
Menurut Shaleh, pembelokan narasi bahwa Syakya hanya menyoal moral dan etika politik Mualem, yang lepas dari aturan serta regulasi. Ini jelas sebagai bentuk cacat nalar.
“Syakya menyebut Dewas BPMA untuk posisi Mualem. Ini jelas keliru. Sebab, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi di Aceh, tidak ada kata atau kalimat Dewas. Yang ada hanya Komisi Pengawas,” kata Shaleh.
Ini dua hal berbeda. Dewan Pengawas itu lebih bermakna berkuasa, sementara Komisi Pengawas merupakan alat kelengkapan.
Penegasan ini disampaikan Shaleh, menanggapi komentar murahan Jubir Paslon 01 Syakya.
Menurut Syakya, Muhammad Shaleh telah gagal memahami konteks dari pernyataannya. Ia menyebutkan dirinya berbicara dari perspektif moral dan etika politik. Sementara Shaleh menanggapinya menggunakan kacamata regulasi.
“Shaleh telah gagal paham terkait konteks pernyataan kami agar Mualem mundur dari jabatan Wakil Wali Nanggroe dan Dewas BPMA. Kita bicara dalam koridor moralitas dan etika politik,” kata Syakya Meirizal, Sabtu, 2 November 2024.
Menanggapi hal ini, Shaleh mengaku tak mau berbalas pantun dengan sumber yang memang cuma bisa bicara, tanpa basis data dan literasi.
Menurut Shaleh, dengan keterbatasan narasi dan literasi, seperti biasa Syakya pun mengoceh dengan bahasa dan kalimat yang semakin menunjukkan siapa dia sebenarnya.
Begitupun sebut Shaleh, tanggapan ini dia sampaikan agar menjadi pelajaran bagi para pihak, khusus aktivis muda mengenai betapa pentingnya menguasai data dan literasi.
Menurut Shaleh, setiap calon yang telah ditetapkan KPU/KIP sebagai pasangan calon dalam Pilkada, tentu telah melengkapi seluruh persyaratan dan memenuhi prosedur. Baik syarat administrasi maupun moral dan etika politik.
Salah satunya, KIP memberi kesempatan kepada masyarakat atau publik selama tiga untuk memberikan masukan dan informasi mengenai perilaku moral maupun etika politik para pasangan calon.
Hasilnya, baik paslon 01 Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi maupun paslon 02 Mualem-Dek Fadh, tidak ada tanggapan negatif dari masyarakat. Ini artinya, baik secara prosedur, aturan, moral maupun etika politik, kedua paslon ini clear and clean.
Tapi jika kemudian masalah moral dan etika politik disoal Syakya dengan dalih karena Mualem sebagai Wakil Wali Nanggroe dan Anggota Komisi Pengawas BPMA, setelah semua proses dan tahapan KIP Aceh selesai, ini sama artinya cacat nalar.
“Dituduh dengan ukuran moralitas dan etika politik yang cukup subjektif. Sesungguhnya ini bukan kritik moral dan etika politik. Tapi misi membunuh karakter dan kampanye negatif untuk Mualem. Ini berbahaya dan saya berharap, tidak ada reaksi apa pun dari loyalis Mualem terhadap Syakya,” sebut Shaleh.
Harusnya kata Shaleh, selevel tim pemenangan Om Bus-Syech Fadil, Syakya paham definisi etika politik, yang berhubungan dengan moral, nilai-nilai serta cara hidup dengan akhlak yang baik.
Shaleh kemudian mempertanyakan moral dan etika politik Bustami Hamzah yang sempat diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus dugaan korupsi proyek multi years, pengadaan Kapal Aceh Hebat 1, 2 dan 3.
“Apakah secara moral dan etika politik, Bustami harus mundur dan tidak pantas mencalonkan diri di Pilkada Aceh. Tidak kan!,” ujar Shaleh.
Karena itu, ulas Shaleh, secara hukum tentu semua orang harus menjunjung azas praduga tak bersalah terhadap Bustami Hamzah. Dan, secara aturan serta prosedur, juga tak ada yang dilanggar Bustami Hamzah, sehingga dia dinyatakan lolos sebagai calon Gubernur Aceh oleh KIP Aceh.