INFOACEH.NET, BANDA ACEH — Praktisi Hukum Aceh Zaini Djalil SH mengaku kecewa dengan sikap Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sekarang, setelah mencermati persoalan hukum dan politik terhadap penetapan calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh oleh KIP Aceh tanggal 21 September 2024 terhadap salah satu pasangan calon yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Zaini Djalil yang juga ketua tim pansus pembentukan dan pemilihan anggota KIP pertama di Aceh menjelaskan, sejarah kenapa nomenklatur KIP Aceh berbeda dengan induknya KPU RI karena semangat perubahan dan kekhususan Aceh setelah lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi daerah Istimewa Aceh bahwa KIP sesuai dengan dengan akronimnya Komisi Independen Pemilihan harus memiliki independensi, integritas dan profesionalisme yang tinggi sebagai penyelenggara pemilu khusus di Aceh.
Namun semangat perubahan tersebut sekarang semakin tergerus dengan kepentingan politik praktis dalam setiap tindakan, perbuatan dan keputusan KIP Aceh, hal ini sangat disayangkan dan sangat memalukan.
Zaini Djalil dalam pernyataannya pada Ahad (22/9/2024) menyatakan, Aceh memiliki kekhususan dalam tatanan hukum nasional memang harus sama-sama dihargai dan taati sebagai orang Aceh
Apabila merujuk Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati serta Wali Kota/Wakil Wali Kota pada Pasal 24 E dengan jelas menyatakan Pasangan Calon “Bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta peraturan pelaksanaannya yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani di depan lembaga DPRA/DPRK”.
Syarat untuk penandatangan pernyataan tersebut merupakan kewenangan KIP Aceh untuk memfasilitasi Pasangan Calon agar dapat melakukan penandatanganan pernyataan sebagaimana bunyi Pasal 24 e tersebut kepada lembaga DPRA.
“Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu melaksanakan penandatanganan pernyataan pasangan calon gubernur/wakil gubernur di depan Lembaga DPRA.
Jangan karena akibat ketidakmampuan KIP Aceh membangun komunikasi untuk menjalankan tugas dan fungsi sebagai penyelanggara Pilkada guna melaksanakan penandatanganan pernyataan pasangan calon gubernur/wakil gubernur di hadapan DPRA sehingga merugikan pasangan salah satu calon dengan keputusan KIP Aceh menyatakan pasangan calon tersebut TMS adalah tindakan tidak berdasar hukum dan hal demikian dapat merusak tatanan hukum penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KIP Aceh,” kata Zaini Djalil yang juga mantan Anggota DPRA ini.
Menurut kabar, sudah dua kali pasangan calon yang TMS tersebut menyurati KIP Aceh perihal penandatanganan pernyataan isi Pasal 24 e Qanun 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota di depan Lembaga DPRA hanya untuk memenuhi hasrat politik DPRA yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum lagi karena isi Pasal 24 e Qanun Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota, telah diubah.
Keputusan KIP Aceh yang menetapkan salah satu pasangan calon dinyatakan TMS sangat bertentangan dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota.
“Terkesan KIP Aceh pura-pura tidak paham hukum hanya demi kepentingan politik praktis sehingga mencoreng independensi KIP Aceh sebagai Penyelenggara Pemilu dan tentu hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum,” sebutnya.
Apabila dicermati dan merujuk Qanun Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota pada Pasal 24 e sudah sangat jelas isi pasalnya menyatakan Pasangan Calon “bersedia menjalankan seluruh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku nasional dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku yaang bersifat istimewa dan khusus yang berlaku untuk Aceh, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang telah ditanda tangani bermaterai cukup”.
Apabila merujuk dan mengacu bunyi Pasal 24 e yang telah diubah dengan Qanun No 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, sangat jelas dan nyata Pasal 24 e tersebut telah mereduksi kewenangan DPRA terhadap lolos atau tidak lolos layak atau tidak layak pasangan calon dinyatakan menjadi calon gubernur dan wakil gubernur karena dalam Pasal 24 e perubahan tersebut menyatakan pasangan calon cukup hanya membuktikan surat pernyataan pasangan calon bersedia menjalankan peraturan per undang-undangan yang berlaku nasional dan khusus di Aceh dalam bentuk pernyataan bermaterai cukup.
“Keputusan KIP Aceh tanggal 21 September 2024 terhadap TMS salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur adalah cacat hukum dan unprosedural dan tidak memiliki kepastian hukum.
KIP Aceh apabila merujuk kepada Qanun Pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati serta Wali Kota/Wakil Walikota sudah seharusnya KIP Aceh menerapkan dan menggunakan isi pasal 24 e qanun terbaru yaitu Nomor 7 Tahun 2024 bukan menggunakan isi pasal 24 e qanun lama Nomor 12 Tahun 2016. Sehingga atas tindakan KIP Aceh tersebut sudah seharusnya dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hukum dalam proses penyelenggaraan pemilu,” ungkapnya.
Zaini Djalil menilai KIP Aceh telah memberikan edukasi hukum yang sangat tidak baik bagi masyarakat terhadap proses demokrasi di Aceh.
“KIP Aceh telah gagal dan salah dalam memahami aturan hukum dalam proses penetapan pasangan calon karena aturan yang semestinya digunakan KIP Aceh adalah isi pasal 24 e dalam Qanun terbaru Nomor 7 Tahun 2024 yang disahkan 5 Juli 2024 sehingga berlaku untuk tahapan dan jadwal Pilkada tahun 2024 yang dimulai pada Agustus 2024.
KIP Aceh yang telah menggunakan isi Pasal 24 e Qanun Nomor 12 tahun 2016 yang jelas-jelas sudah dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum karena sudah diubah adalah perbuatan melawan hukum dan produk hukum keputusan KIP Aceh terhadap salah satu pasangan calon dinyatakan TMS adalah cacat hukum.
KIP Aceh telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum dengan berlindung kepada lembaga DPRA yang seolah-olah DPRA lah sebagai salah satu lembaga yang sah dan resmi serta memiliki kekuasaan super power untuk menentukan lolos atau tidak lolos, layak atau tidak layak pasangan calon gubernur/wakil gubernur dinyatakan Memenuhi Syarat sebagai Pasangan Calon Peserta Pilkada,” pungkas Zaini Djalil