Puasanya Para Sarjana, dari S1 Hingga S3
Dalam hal mengukur kematangan tersebut, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membagi puasa menjadi tiga tingkatan. Yakni puasanya orang awam (S1), puasanya orang khusus (S2) dan puasa khusus dari orang khusus (S3).
Upaya Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang berpuasa ke dalam tiga level tersebut, tak lain tujuannya adalah agar setiap tahun berpuasa Ramadhan seseorang bisa menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas ibadah puasanya.
Adapun puasa jenjang pertama adalah shaumul umum atau puasanya orang awam (S1). Jenjang ini biasa-biasa saja, atau mungkin kalau di-scoring nilainya baru good, belum very good apalagi excellent.
Praktik puasa yang dilakukan di level menuju sarjana ini hanya sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara zahir.
Kemudian jenjang kedua adalah puasanya orang khusus (para magister). Tingkatan ini jika dikalkulasikan dengan angka berkisar antara 80 atau kita sebut dengan very good. Mereka berpuasa tidak hanya sekedar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan.
Tapi di balik itu, mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat.
Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah.
Selanjutnya tingkatan ketiga adalah puasa orang Super-Khusus (para doktor). Ini adalah jenjang yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Inilah praktik puasanya orang-orang istimewa, excellent.
Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawi yah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah.
Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia.
Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah.