Oleh: Dr. Mizaj Iskandar Usman, Lc LL.M*
Dalam menafsirkan Basmalah, perhatian mufassirin klasik tersita membicarakannya dari aspek fiqh, apakah basmalah ayat atau bukan ayat dari surat al-Fātiḥah. Pembahasan basmalah yang fiqh sentris tentu mereduksi makna basmalah yang begitu luas dan dalam. Dalam seri ini, saya tidak hanya membicarakan status fiqh basmalah. Namun lebih dari pada itu juga akan dibincangkan mengenai khasiat yang terkandung dalam basmalah.
Terdapat 114 kali penulisan basmalah dalam al-Qur’an. 113 tertulis di awal surat dan satu tertulis dipertengahan surat Q.S al-Naml: 30. Hanya satu surat dalam al-Qur’an yang tidak diawali dengan basmalah, yaitu surat al-Tawbah (al-Barā’ah). Menurut mufassirin tidak patut menulis basmalah pada surat yang memuat banyak kecaman dan celaan kepada orang musyrik. Selanjutnya mufassirin sepakat mengatakan basmalah pada Q.S al-Naml: 30 merupakan ayat al-Qur’an dan basmalah yang terletak di awal surat selain al-Fātiḥah merupakan pagar pemisah antar surat (faṣl al-suwār) dan bukanlah ayat dari al-Qur’an.
Namun mufassirin memperdebatkan status basmalah yang terletak di awal al-Fātiḥah. Menurut mayoritas ulama basmalah di awal al-Fātiḥah bukanlah ayat al-Qur’an, statusnya sama sebagaimana basmalah dipermulaan surat-surat lain. Mereka berhujjah dengan hadis qudsi yang menjelaskan bahwa Allah membagi shalat seseorang kepada dua bagian, jika seseorang mulai shalat dan membaca alḥamdulillāhirabbil ‘ālamīn, Allah akan menjawab “hamidanī ‘abdī” (hamba-Ku telah memuji-Ku). Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa ayat pertama yang dibaca dalam al-Fātiḥah bukanlah basmalah, tetapi “alḥamdulillāhirabbil ‘ālamīn”. Meski demikian, mereka berbeda-beda dalam teknis membaca basmalah dalam shalat. Karena bukan ayat al-Qur’an basmalah tidak boleh dibaca dalam shalat menurut Hanafi dan Maliki. Sedangkan menurut Hanbali tetap dibaca meskipun secara pelan (sirr).
Berbeda dengan mayoritas ulama, menurut Syafi‘ī basmalah merupakan ayat dari surat al-Fātiḥah sehingga wajib dibaca dalam shalat. Syafi‘ī berargumentasi dengan hadis Abū Dawūd “anna nabiya qara’a fī al-Ṣalāti bismillāhirraḥmānirraḥīm wa ‘addahā āyatan” (Nabi membaca basmalah dalam shalatnya, dan menggabnya ayat al-Qur’an).
Menurut Rasyad Khalifah, seorang cendikiawan Mesir yang bermukim di Amerika, basmalah terdiri dari sembilan belas huruf. Angka sembilan merupakan bilangan primer dalam matematika. Semua hal dalam al-Qur’an bisa dibagi dengan angka sembilan belas. Misalnya surat dalam al-Qur’an berjumlah 114 dibagi 19 hasilnya 6. Kata Allah disebut sebanyak 2698 jika dibagikan 19 hasilnya 142. Surat Yāsin dimulai dengan dua huruf yā’ dan sin. Huruf yā’ dan sin dalam surat ini berjumlah 285 yang jika dibagikan 19 hasilnya 15. Bagi yang berminat dengan pemodelan matematis dalam al-Qur’an saya merekomendasi Miracle of The Quran karya Rasyad Khalifah untuk dibaca.
Dalam tafsir isyārī (mystical interpretation) dijelaskan bahwa seluruh makna al-Qur’an dikumpulkan pada al-Fātiḥah dan makna al-Fātiḥah dikumpulkan pada basmalah. Dan makna basmalah dikumpulkan pada titiknya huruf ba’. Karena titik dari huruf ba’ itu bermakna “bī kāna mā kāna wa bī yakūnu mā yakūn”. Dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti “sebab Aku (Allah), semua yang ada jadi ada”. Karena Allah, apa yang telah terjadi pasti terjadi dan apa yang akan terjadi pasti juga akan terjadi. Kakek yang telah meninggal maupun anak kita yang akan lahir semuanya terjadi atas kuasanya Allah. Sebab itu, titik dalam huruf ba’ di awal basmalah dalam khazanah tasawuf disebut nuqṭah al-wujūd (titik wujud). Maknanya, semua wujud di alam raya tercipta berkat titik wujud ini. Titik wujud yang tunggal adalah Allah Swt. Kaum spiritualis yang punya hubungan erat dengan Allah (baca: waliyullāh) bisa membuktikan fungsionalnya basmalah dalam aktivitas mereka sehari-hari.
Dalam Surat Hud: 41 dikisahkan sebelum Nabi Nuh pergi meninggalkan kaumnya dengan menaiki bahtera besar ia mengucapkan bismillāhi majrehā wa mursāhā (dengan nama Allah maka berlayar dan berlabuhlah). Ucapan basmalah Nuh membinasakan kaum kafir dengan banjir dan menyelamatkan kaum beriman dengan bahtera. Dalam kitab Tadzkīratul Awliyā’, Syaikh Farīduddīn al-‘Aṭṭār menceritakan kisah taubatnya ulama sufi besar Bisyr bin Abū Naṣr dari kejahilannya. Di masa mudanya Bisyr merupakan alkoholik berat. Suatu malam sepulang mabuk-mabukan Bisyr menemukan secarik kertas yang tertulis basmalah. Ia pun mengutip dan meminyaki wangi-wangian kertas itu. Pada saat yang sama seorang wali Allah yang sedang tidur bermimpi dan diperintahkan dalam mimpinya untuk mencari orang yang bernama Bisyr bin Abū Naṣr. Awalnya si wali ini mengabaikan mimpinya. Namun, mimpi itu datang berturut-turut setiap malam. Si wali pun mengalah dengan mimpinya dan mendatangi Bisyr untuk menyampaikan pesan dalam mimpinya. Pesan itu berbunyi “kamu telah mengharumkan nama-Ku, dan Aku pun akan mengharumkan namamu”. Kejadian itu menjadi momentum hijrahnya sufi besar Bisyr bin Abū Naṣr.
Kisah yang sama juga diceritakan oleh Syaikh Yūsuf al-Nabhānī dalam Jāmi‘ Karāmatil Āwliyā’. Dikisahkan ada seorang wali bernama Hafiz Usman Efendi (w. 1698 M), penulis al-Qur’an Istanbul (disebut al-Qur’an Istanbul atau stanbul karena awalnya dicetak di Turki, meskipun sekarang banyak negara turut mencetaknya juga. Berbentuk mushaf kecil, diminyaki dengan wewangian dan disimpan dalam sebuah kota. Mushaf ini dibaca terus-menerus oleh pemiliknya dan diwariskan secara turun-menurun sehingga menjadi semacam pusaka keluarga). Hafiz Usman jika datang ke acara tahlilan (Aceh: Samadiyah), tuan rumah yang mengundang pasti menyembelih sapi. Mereka merasa terhormat dan senang majlis mereka dikunjungi oleh Hafiz Usman. Tetapi dalam membaca tahlilan, Hafiz Usman cuma membaca bismillāhirraḥmānirraḥīm. Setalah itu ia pamitan dan berkata kepada tuan rumah “sudah ya, saya masih banyak urusan”. Tuan ruma merasa kesal dan dilecehkan oleh sikap Hafiz Usman. Teryata kekesalan tuan rumah ini sampai juga ditelinga wali tersebut. Hafiz Osman kemudian gantian mengundang tuan rumah itu ke rumahnya. Ia meminta tuan rumah itu menebang sebuah pohon besar. Ia juga meminta kepada muridnya untuk mencarikan seekor sapi gemuk. Lalu sapi itu diletakkan pada sisi pohon besar itu dan Hafiz Osman menaiki sisi yang lain. Ternyata timbangan Hafiz Usman lebih berat dibandingkan seeokor sapi gemuk.
Meski membaca basmalah tidak wajib secara fiqh, tapi menurut tauhid basmalah wajib dibaca. Sebab kalau tidak membaca basmalah jangan-jangan kita meyakini kalau makan pasti kenyang, minum pasti segar. Padahal menyematkan kata “pasti” itulah yang menjadikan seseorang syirik. Karena seakan-akan makan itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat mengenyangkan. Ini menyebabkan para ulama tauhid memandang membaca basmalah sangatlah penting untuk menetralisir adat yang sudah berkerak dan mendarah daging.
Nabi sendiri mengajarkan kita untuk membaca basmalah dalam beraktivitas “kullu amrin dzī bālin la yaqra’ fīhi bibismillāhi fahuwa abtar (setiap amal saleh yang tidak dibacakan basmalah sia-sia lah amalanya itu). Sampai-sampai Nabi mengajarkan jika lupa membaca basmalah di awal beraktivitas, bacalah basmalah itu kapan saja saat mengingatnya. Dalam sebuah hadis Nabi mengajarkan kalimat “bismillāhi awwalahu wa ākhirahu” (dengan nama Allah di awal maupun di akhir). Jika demikian, tidak berlebihan jika Fakhruddīn al-Rāzī dalam kitab Mafātiḥul Ghaib mengatakan kedudukan basmalah yang diucapkan manusia sama dengan kedudukan kun fayakūn yang diucapkan Allah. Kata kun fayakūn menjadi “mantra” Allah dalam menciptakan alam semesta, sedangkan basmalah menjadi “mantra” manusia dalam beramal saleh.
Imam al-Dzahabī dalam kitab Siyar A‘lām al-Nubalā’ menyebut biografi seorang perawi hadis bernama Musaddad. Ia lahir di Basrah pada abad ke 3 H. Al-Dzahabī menyebutnya sebagai “minal aimmatil astbāt” (perawi yang dapat dipercaya). Sehingga hadis yang dirawinya banyak ditemukan dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī, Ṣaḥiḥ Muslim dan Sunan Ibn Mājjah. Dalam beberapa kitab Ṭabaqāt (ensiklopedi biografi tokoh) diterangkan nama lengkapnya adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mugharbal bin Mura’bal bin Arandal bin Sarandal bin ‘Arandal bin Masik bin Mustaurad al-Asadi. Terkesima dengan nama-nama dalam silsilah Musaddad, salah seorang ulama berseloroh “Andai nama-nama ini ditulis dengan didahului basmalah, ia bisa jadi mantra (ruqyah) untuk menangkal bisa kalajengking.” Kisah satir atau bahkan anekdot ini menunjukkan kesaktian basmalah. Dalam literatur Inggris disebutkan With men this is possible, with god all things are possible (bersama manusia Cuma satu hal yang mungkin, bersama tuhan semuanya jadi mungkin).
Dengan mengucapkan basmalah banyak amal saleh bisa kita kerjakan. Wallahu a‘lam bilhaqīqati wa ṣawāb.
*Penulis adalah Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Ar-Raniry