Basmalah: ‘Mantra’ Manusia Dalam Beramal Saleh
Kisah yang sama juga diceritakan oleh Syaikh Yūsuf al-Nabhānī dalam Jāmi‘ Karāmatil Āwliyā’. Dikisahkan ada seorang wali bernama Hafiz Usman Efendi (w. 1698 M), penulis al-Qur’an Istanbul (disebut al-Qur’an Istanbul atau stanbul karena awalnya dicetak di Turki, meskipun sekarang banyak negara turut mencetaknya juga. Berbentuk mushaf kecil, diminyaki dengan wewangian dan disimpan dalam sebuah kota. Mushaf ini dibaca terus-menerus oleh pemiliknya dan diwariskan secara turun-menurun sehingga menjadi semacam pusaka keluarga). Hafiz Usman jika datang ke acara tahlilan (Aceh: Samadiyah), tuan rumah yang mengundang pasti menyembelih sapi. Mereka merasa terhormat dan senang majlis mereka dikunjungi oleh Hafiz Usman. Tetapi dalam membaca tahlilan, Hafiz Usman cuma membaca bismillāhirraḥmānirraḥīm. Setalah itu ia pamitan dan berkata kepada tuan rumah “sudah ya, saya masih banyak urusan”. Tuan ruma merasa kesal dan dilecehkan oleh sikap Hafiz Usman. Teryata kekesalan tuan rumah ini sampai juga ditelinga wali tersebut. Hafiz Osman kemudian gantian mengundang tuan rumah itu ke rumahnya. Ia meminta tuan rumah itu menebang sebuah pohon besar. Ia juga meminta kepada muridnya untuk mencarikan seekor sapi gemuk. Lalu sapi itu diletakkan pada sisi pohon besar itu dan Hafiz Osman menaiki sisi yang lain. Ternyata timbangan Hafiz Usman lebih berat dibandingkan seeokor sapi gemuk.
Meski membaca basmalah tidak wajib secara fiqh, tapi menurut tauhid basmalah wajib dibaca. Sebab kalau tidak membaca basmalah jangan-jangan kita meyakini kalau makan pasti kenyang, minum pasti segar. Padahal menyematkan kata “pasti” itulah yang menjadikan seseorang syirik. Karena seakan-akan makan itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat mengenyangkan. Ini menyebabkan para ulama tauhid memandang membaca basmalah sangatlah penting untuk menetralisir adat yang sudah berkerak dan mendarah daging.
Nabi sendiri mengajarkan kita untuk membaca basmalah dalam beraktivitas “kullu amrin dzī bālin la yaqra’ fīhi bibismillāhi fahuwa abtar (setiap amal saleh yang tidak dibacakan basmalah sia-sia lah amalanya itu). Sampai-sampai Nabi mengajarkan jika lupa membaca basmalah di awal beraktivitas, bacalah basmalah itu kapan saja saat mengingatnya. Dalam sebuah hadis Nabi mengajarkan kalimat “bismillāhi awwalahu wa ākhirahu” (dengan nama Allah di awal maupun di akhir). Jika demikian, tidak berlebihan jika Fakhruddīn al-Rāzī dalam kitab Mafātiḥul Ghaib mengatakan kedudukan basmalah yang diucapkan manusia sama dengan kedudukan kun fayakūn yang diucapkan Allah. Kata kun fayakūn menjadi “mantra” Allah dalam menciptakan alam semesta, sedangkan basmalah menjadi “mantra” manusia dalam beramal saleh.