Mengoreksi Ila’: Islam, Keadilan, dan Hak-Hak Perempuan dalam Rumah Tangga
Istilah toxic marriage merujuk pada suatu hubungan rumah tangga yang merusak secara mental, emosional, atau spiritual. Ciri-cirinya meliputi komunikasi yang penuh tekanan, pengabaian emosional, pengendalian yang berlebihan, pelecehan verbal, hingga kekerasan psikologis. Dalam banyak kasus, kekerasan semacam ini tidak terdeteksi secara hukum karena tidak meninggalkan bekas fisik.
Kekerasan emosional dalam pernikahan tidak hanya menyiksa secara psikologis, tetapi juga melanggar prinsip dasar dalam Islam untuk hidup bersama secara ma’ruf (baik). Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa [4] ayat 19, Allah berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) secara baik (ma’ruf).”
Relasi yang toxic sering kali menyandera perempuan dalam hubungan yang tidak sehat tanpa jalan keluar.
Dalam konteks ini, praktik ila’ dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekerasan emosional bila dilakukan untuk menyengsarakan satu pihak atau hukuman tanpa alasan syar’i yang jelas.
Fiqih pernikahan bukan sekadar kumpulan hukum tekstual, tetapi harus dibaca sebagai instrumen keadilan yang hidup dan relevan dalam setiap zaman.
Praktik ila’ yang dahulu dipandang sebagai solusi justru dapat menjadi alat kekerasan emosional di era kini.
Sebagai seorang muslim yang baik, kita dituntut untuk memperbarui cara pandang dan praktik hukum Islam agar benar-benar menjadi rahmat dan perlindungan, terutama bagi mereka yang rentan seperti perempuan dalam relasi rumah tangga.
Dalam Islam, kedudukan perempuan tidak hanya dijamin hak-haknya sebagai individu, tetapi juga dihormati sebagai ibu, istri, anak, dan anggota masyarakat.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri berulang kali menekankan pentingnya memperlakukan perempuan dengan penuh kasih dan hormat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
خيركم خيركم لنسائه، وأنا خيركم لنسائي
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang paling baik kepada istriku.” (HR. Ibnu Majah)
Bahkan dalam khutbah perpisahan beliau di Haji Wada’, Rasulullah secara khusus berpesan tentang hak-hak perempuan, beliau bersabda:
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)