Sigli — Ibadah qurban dengan menyembelih hewan pada setiap Hari Raya Idul Adha harus dijadikan sebagai momentum untuk penyembelihan sifat buruk yang selama ini ada pada diri manusia.
Berqurban itu bukan hanya sebatas menyembelih seekor sapi atau kambing, tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan hawa nafsu kebinatangan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat bakhil, sombong, tidak jujur, egoisme personal maupun komunal, dan nafsu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Demikian disampaikan Dr. Tgk. Bukhari Daud M.Ed, saat bertindak sebagai khatib Salat Ied Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah di Masjid Agung Al-Falah Sigli, Jum’at (31/7).
Dari pantauan, masyarakat berbondong-bondong mendatangani Masjid Agung Al Falah Kota Sigli guna melaksanakan Shalat Idul Adha 1441 H. Mayoritas jamaah memakai masker saat memasuki masjid.
“Dengan berqurban, kita jadikan momentum melawan syetan dan hawa nafsu dalam kehidupan, mewujudkan kebersamaan dengan menyembelih semua sifat kebinatangan,” ujar Tgk. Bukhari Daud.
Dijelaskannya, penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha merujuk pada puncak ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah menyembelih putranya sendiri, Ismail.
Penetapan syariat berkurban setelah rentang ribuan tahun peristiwa Nabi Ibrahim, menjadi media untuk menghapuskan penyimpangan pelaksanaan kurban yang tidak ditujukan kepada Allah.
Khatib yang juga mantan Bupati Aceh Besar menyebutkan, melakukan kurban menurut syariat Islam adalah menyembelih binatang –kambing, unta, sapi dan atau karbau- dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, semangat kurban merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menguji keimanan seseorang dan tingkat cintanya kepada Allah. Apakah harta dan segala yang ia miliki memalingkan dirinya dari Allah. Meski sebenarnya, cinta kepada harta maupun anak-anak merupakan fitrah, tetapi seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan di atas itu semua.
Ibadah kurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial. Secara vertikal, ibadah ini lebih merupakan ungkapan syukur, maka bacaan takbir justru lebih penting dari prosesi penyembelihan itu sendiri.
Artinya, karena kurban itu merupakan manifestasi keimanan seseorang, bukanlah wujud kurbannya lebih dipentingkan, melainkan nilai dan motivasi orang itu menjalankannya. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang khaliq. Yang dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan.
Sedangkan secara horizontal, berqurban merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, khususnya kepada golongan yang lemah. Ibadah kurban pun mengajarkan kepada manusia utuk rela berkorban demi kepentingan yang lebih universal, baik kepentingan agama, bangsa, maupun kemanusiaan.
Dengan kata lain, kurban juga menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa.
Pasalnya, kurban ini tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di sungai, malah daging kurban dinikmati bersama baik oleh orang yang berkurban maupun orang-orang miskin di sekitarnya.
“Kenapa orang yang berkurban juga dianjurkan untuk mengambil sebagian kecil daging hewan qurban, dan sebagian besar disumbangkan untuk masyarakat miskin dan kurang mampu, agar bisa sama-sama ikut merasakan dan menikmati daging hewan yang dikurbankannya,” jelas Tgk. Bukhari.
Karenanya, berkurban semestinya bisa mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial. Dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk berkurban, diharapkan timbul rasa kebersamaan di masyarakat sehingga bisa menggalang solidaritas, kesetiakawanan sosial dan introspeksi diri untuk kemaslahatan bersama. (IA)