Oleh: Dr Tgk Muhammad Yusran Hadi Lc MA*
SEHUBUNGAN keluarnya taushiyah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 13 Tahun 2024 tentang Perayaan Tahun Baru Masehi 2025 baru-baru ini tertanggal 21 Desember 2024 yang berisi lima poin taushiyah dan penjelasan Ketua MPU Tgk Faisal Ali sebagaimana diberitakan oleh media-media bahwa MPU Aceh membolehkan merayakan tahun baru dengan syarat sesuai dengan syariat Islam, maka saya ingin memberikan beberapa tanggapan.
Saya sepakat dan mengapresiasi poin pertama taushiyah MPU Aceh bahwa perayaan menyambut tahun baru Masehi tidak termasuk dari hari-hari besar Islam. Di sini dapat kita pahami bahwa perayaan tahun baru bukan ajaran Islam.
Saya juga sepakat dan mengapresiasi poin ketiga taushiyah MPU Aceh bahwa kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan Islam dalam menyambut tahun baru Masehi seperti meniup terompet, menyalakan lilin, kembang api, dan musik yang hingar bingar, dan bentuk kegiatan lain yang sejenis, agar dapat dihindari.
Dalam poin ini bisa kita pahami bahwa MPU melarang merayakan tahun dengan kegiatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Namun saya menyayangkan poin kedua dari taushiyah MPU bahwa bagi yang melakukan kegiatan tersebut (yaitu merayakan tahun baru Masehi) agar lebih difokuskan pada zikir, wirid, doa, tafakkur, membaca Al-Qur’an, ceramah agama, dan sejenisnya, baik secara berjamaah atau perseorangan.
Dalam poin ini bisa kita pahami bahwa MPU membolehkan perayaan tahun baru dengan mengadakan kegiatan keagamaan dan ibadah sebagaimana tersebut.
Pada poin kedua ini, saya tidak sependapat dengan MPU. Sepatutnya MPU melarang merayakan tahun baru dalam bentuk kegiatan apapun, baik kegiatan yang tidak sesuai dengan Islam seperti membakar mercon dan kembang api, meniup terompet, musik, joget/dansa, ithtilath, pacaran dan maksiat lainnya maupun maupun yang sesuai syariat Islam yaitu kegiatan keagamaan dan ibadah.
Agar tidak menyerupai orang kafir dalam merayakan tahun baru Masehi.
Permasalahan adalah merayakan tahun baru Masehi yang merupakan hari raya agama kafir dengan mengkhususkan amalan tertentu.
Bila seseorang tidak untuk merayakannya, maka kegiatan keagamaan dan ibadahnya tidak masalah.
Menurut saya, pendapat MPU Aceh pada poin kedua yang membolehkan perayaan tahun baru dengan kegiatan keagamaan dan ibadah ini keliru dan harus ditinjau kembali, karena Nabi Muhammad SAW tidak merayakan tahun baru Masehi dengan kegiatan apapun meskipun dengan kegiatan keagamaan dan ibadah seperti zikir, wirid, doa, membaca Al-Qur’an dan sejenisnya.
Begitu pula sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in yang merupakan ulama salaf dan imam-imam mazhab sebagai generasi terbaik umat serta para ulama setelah mereka yang mengikuti mereka.
Semua umat Islam sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah petunjuk bagi umat Islam dalam segala aspek kehidupan khususnya dalam persoalan agama.
Mengikuti Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban bagi setiap muslim. Begitu pula umat Islam sepakat untuk mengikuti para ulama salaf yaitu para sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in karena mereka generasi terbaik umat Nabi SAW sebagaimana ditegaskan olehNabi SAW.
Namun, tidak seorangpun dari mereka merayakan tahun baru Masehi dengan apapun kegiatan, baik duniawi maupun agama. Jadi ini perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan oleh Allah SWT.
Para ulama sepakat pula mengatakan bahwa mengkhususkan ibadah tertentu harus berdasarkan hadits yang shahih. Bila tidak, ini perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena persoalan ibadah itu bersifat tauqifiyyah (wajib berdasarkan Al-Qur’an dan hadits).
Malam tahun baru Masehi sama dengan malam-malam lainnya. Tidak ada keutamaan atau anjuran untuk merayakannya dengan kegiatan apapun termasuk kegiatan agama berupa ceramah dan sejenisnya maupun ibadah seperti zikir, shalat, dosa dan membaca Al-Qur’an.
Bagi orang yang ingin melakukannya dengan niat bukan untuk merayakan tahun baru Masehi atau tidak mengaitkannya, maka ini dibolehkan.
Yang tidak dibolehkan adalah beribadah khusus untuk merayakan tahun baru Masehi atau mengaitkan kegiatan atau ibadahnya dengan tahun baru Masehi.
Jadi, yang menjadi masalah adalah merayakan tahun baru Masehi. Ini yang dilarang dalam agama. Karena perayaan tahun baru Masehi merupakan ajaran agama orang-orang kafir penyembah berhala atau dewa yang mengandung kesyirikan dan kekufuran.
Merayakannya berarti meridhainnya. Umat Islam dilarang mengikuti dan menyerupai kepercayaan, ritual dan syiar agama orang-orang kafir. Begitu pula umat Islam dilarang untuk mencampur adukkan kebenaran Islam dengan kebatilan agama selain Islam.
Tahun baru Masehi bukan ajaran Islam, namun ajaran agama Yunani kuno penyembah berhala dan dewa-dewi. Allah mengharamkan umat Islam untuk mengikuti dan menyerupai orang-orang kafir dalam keyakinan, ibadah dan syiar agama mereka.
Karena itu, para ulama salaf telah ijma’ (sepakat) mengharamkan merayakan hari agama kafir dalam bentuk apapun, baik kegiatan dunia maupun keagamaan. Karena pada hari raya agama kafir.
Poin kedua dari taushiyah MPU Aceh yang membolehkan merayakan tahun baru dengan syarat tertentu ini sebenarnya juga paradok dengan poin pertama yang mengatakan bahwa perayaan menyambut tahun baru bukan hari besar Islam.
Jika bukan hari besar Islam, maka kenapa dirayakan? Justru merayakan tahun baru Masehi menyerupai orang-orang kafir dan ikut mensyiarkan ajaran agama kafir. Karena perayaan tahun baru Masehi itu ajaran dan syiar agama kafir.
Selain itu, poin kedua dari taushiyah ini juga paradok dengan poin keempat yang mengatakan bahwa bagi masyarakat yang dilarang melakukan dan mengikuti acara ritual khas non muslim serta penggunaan atributnya.
Perayaan tahun baru Masehi merupakan ritual agama kafir Yunani kuno penyembah berhala dan dewa dewi. Bahkan orang-orang kristen dan Yahudi ikut merayakannya. Tapi kenapa justru MPU Aceh membolehkan merayakan hari raya orang-orang kafir yang mengandung ritual kesyirikan dan kekufuran?
Bukankah ini mengikuti dan menyerupai mereka meskipun dibungkus dengan kegiatan yang tampak islami?
Tapi intinya tetap sama yaitu perayaan hari raya agama orang-orang kafir. Ini mengikuti dan menyerupai orang-orang kafir. Inilah yang menjadi masalah dan sebab larangannya.
Jadi, di sini terlihat MPU Aceh plin-plan dalam menjelaskan hukum merayakan tahun baru Masehi. Tidak jelas dan tidak tegas melarangnya. Karena mencampurkan antara kebenaran agama Islam dan kebatilan merayakan hari raya agama kafir.
Padahal dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 42, Allah melarang kita mencampurkan kebenaran dengan kebatilan. Dan Rasulullah SAW melarang menyerupai keyakinan, ritual dan syiar agama kafir dengan ancaman bagian dari mereka.
Beliau bersabda “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Karena itu, sudah sepatutnya MPU Aceh harus tegas dalam melarang perayaan tahun baru Masehi dalam bentuk apapun, termasuk kegiatan keagamaan dan ibadah yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru Masehi, baik berkelompok maupun perorangan, agar tidak terjerumus dalam mengikuti dan menyerupai ritual dan syiar agama orang-orang kafir yang dilarang dalam Islam. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh dan Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry