Oleh: Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LL.M*
Saat masa jahiliyah, manusia mengaitkan nikmat karena berhala yang disembah. Di era modern ini, manusia mengaitkan nikmat dengan harta, fasilitas hidup, jabatan, pengaruh dan lain sebagainya. Sehingga saat manusia bisa memusnahkan itu semua dan menyakini bahwa nikmat itu semua karena Allah, membuat begitu senangnya Allah kepada manusia.
Dalam hadits qudsi diceritakan ketika manusia mengucapkan “Alhamdulillahirabbil ‘ālamīn” sebagai tanda syukur atas curahan nikmat yang diberikan Allah. Segera Allah membalas “Hamidanī ‘abdī” (Hamba-Ku telah memuji-Ku). Ekspresi kebahagian Allah saat dipuji.
Semua kalimat pujian dalam Al-Qur’an dan hadits hadir dalam bentuk kalām khabarī (kalimat berita) tanpa dikaitkan kepada pembicara (bidūnil isnād ilā mutakallim).
Misalnya Alḥamdulillāh (segala puji bagi Allah), Subḥānallāh (Maha Suci Allah) dan bukannya ḥamidtullāh (saya memuji Allah) dan sabbaḥtullāh (saya menyucikan Allah). Dalam ilmu balāghāh (sastra Arab) terdapat perbedaan kesan makna yang ditinggalkan pada ucapan “saya menghormati presiden” dengan “presiden orang terhormat”.
Dalam ucapan pertama meninggalkan kesan sanjungan kita kepada presiden sepihak, atau karena ada kepentingan. Tetapi pada ucapan kedua tersirat kesan siapa saja yang menghina presiden salah. Karena kehormatan presiden telah dipakemkan dalam ucapan “presiden orang terhormat”. Begitu juga dalam Al-Qur’an dan hadits, Allah mengajarkan manusia kalimat pujian dalam bentuk pakem seperti Alḥamdulillāh (taḥmīd), Subḥānallāh (tasbīḥ), Lā ilaha illāllah (tahlīl), dan Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh (hawqalah). Sehingga jika manusia tidak memuji Allah, muncul kesan salah terhadap sikap itu.
Dalam tasawuf Allah bukan hanya senang dipuji, tapi memang patut dipuji. Meskipun dalam bacaan banyak orang (baca: awam) tidak semua peristiwa di dunia ini menyenangkan. Ada penderitaan, kesedihan, bencana, musibah dan lain sebagainya. Apakah kejadian-kejadian itu patut disyukuri?
Dalam ajaran tasawuf ditanamkan suatu kesadaran spiritual mengenai alam semesta sebagai arena tempat seluruh tindakan Tuhan dipertunjukkan (the unfloding of divine attributes). Dunia adalah panggung penyingkapan diri Allah kepada manusia.
Peristiwa ini dalam tasawuf disebut sebagai proses tajallī. Sebagaimana zat dan sifat Allah Yang Maha Sempurna, perbuatan dan tindakan-Nya juga sempurna jauh dari kata kurang apalagi cacat.
Dalam Ihyā’ ‘Ulūmiddīn, Al-Ghazālī (w. 1111 M) menulis satu bab khusus yang berjudul “Kitābul Tawḥīd wa Tawakkul” (pembahasan mengenai tauhid dan tawakkal). Menurut al-Ghazālī “laisa fī al-imkān abda’u mimmā kāna” (tak ada dunia yang lebih sempurna ketimbang dunia yang sudah ada sekarang).
Bagi sebagian orang pernyataan ini menjadi problematis: Jika dunia yang ada sekarang ini sudah paling baik, artinya Allah “tak mampu” mencipta dunia yang lebih baik lagi. Dengan kata lain, Allah tidak sempurna kekuasaannya.
Untuk membela dirinya, al-Ghazālī mengutip Abū Ṭālib al-Makkī (w. 998 M) dalam Qūtul Qulūb yang mengatakan “Andai saja Allah menciptakan seluruh manusia di bumi ini dalam keadaan yang paling sempurna, menjadikan mereka sebagai manusia dengan kecerdasan super. Kemudian diberitahu kepada mereka semua rahasia segala ilmu pengetahuan. Lalu diminta kepada mereka untuk mencipta ulang dunia, maka yang akan muncul adalah dunia yang sama dengan dunia sekarang”.
Senada dengan al-Ghazālī, seorang ulama polymath (mutabaḥḥir) dari Mesir, Al-Suyūṭī (w. 1505 M) menulis kitab Tasyyīd al-Arkān untuk membela al-Ghazālī.
Menurutnya “memang ada kejahatan, penderitaan, penyakit di dunia ini dari dulu sampai sekarang. Tetapi yang sudah ada saat ini adalah bentuk dunia yang paling mungkin dan sempurna”. Jadi apa yang dalam skala kecil kita menganggapnya sebagai penderitaan. Dalam the grand scheme of things (skema besar) bisa merupakan keberkahan.
Inilah yang dimaksud dengan “wa ‘asā an takrahū syai’an wa huwa khairān lakum, wa ‘asā an tuḥibbū syai’ān wa huwa khairān lakum”, boleh jadi apa yang dipandang buruk baik bagi kalian, dan apa yang dipandang baik belum tentu baik bagi kalian.
Menariknya lagi, Allah menutup surat Al-Baqarah, 216 dengan “wallāhu ya‘lamu wa antum lā ta‘lamūn, Allah mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
Jika dicermati dalam sejarah. Apa yang dikatakan al-Ghazālī benar adanya. Setelah terbunuhnya Ali, dan berkuasanya Mu‘awiyyah. Keturunan Ali dikejar-kejar dan dibunuh. Hasan mati diracun di Madinah, Husen tewas dipenggal di Karbala.
Keturuan Ali yang lain (‘alawiyūn) dikejar-kejar dan dihabisi. Peristiwa ini membuat ‘alawiyūn banyak hijrah ke negeri yang jauh dari pusat kekuasaan Islam. Tidak sedikit dari mereka bereksodus ke negeri Timur Jauh (far east) seperti Aceh dan lain sebagianya. Dalam kacamata mikrokosmik, kejadian ini merupakan peristiwa kelam bagi ‘alawiyūn.
Namun dalam skema makrokosmik peristiwa itu membuat proses islamisasi di negeri-negeri Nusantara menjadi mungkin terjadi. Tanpa tragedi genosida kaum, sulit dipahami kaum ‘alawiyyūn berkenan hijrah ke negeri yang sangat jauh dari tanah kelahiran mereka.
Jika hal ini dipahami, mengucapkan taḥmid tidak sekedar ketika mendapatkan nikmat. Saat terkena musibah pun sepatutnya kalimat taḥmid yang meluncur deras dari mulut seorang beriman.
Inilah yang menjelaskan mengapa dalam Surat Yūnus, 10 diterangkan kalimat peunutoh (closing statement) ahli surga adalah “alḥamdulillāhirabbil ‘ālamīn”. Karena penghuni surgalah yang mengetahui segala yang terjadi di alam semesta ini adalah yang terbaik, persembahan Khaliq kepada makhluk-Nya. Maka pujilah Dia.
*Penulis Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry