Anggota DPD RI H Sudirman usai pertemuan dengan Kepala BPKP Perwakilan Aceh.
Banda Aceh — Anggota Komisi IV DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau akrab disapa Haji Uma mengungkapkan baru 38% dana desa di Aceh triwulan pertama cair atau 2.474 dari 6.497 desa dalam Provinsi Aceh.
Pernyataan tersebut disampaikan Haji Uma saat melakukan kunjungan kerja ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh, dalam rangka Pengawasan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Kamis (9/4).
Dalam kunjungan tersebut, Anggota Komite IV DPD RI bersama tim ingin mendengar secara langsung penjelasan dan masukan dari Kepala BPKP Perwakilan Aceh, Indra Khaira Jaya, soal penyebab keterlambatan penyaluran dana desa di Provinsi Aceh tahun 2020.Hal ini mengingat peran BPKP selama ini salah satunya mempercepat penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes).
Dari 38% dana desa triwulan pertama yang sudah masuk ke rekening desa, Kabupaten Pidie menempati urutan terendah yaitu 0,41% atau 3 dari 730 desa yabg sudah melakukan pencairan, kemudian disusul Kabupaten Aceh Timur sebesar 0,58% atau 3 dari 513 desa dan Kota Subulussalam berada di urutan ketiga sebesar 1,22%.
Sementara realisasi tertinggi pencairan dana desa ditempati Kabupaten Aceh Tamiang sebesar 98,59% atau 210 dari 213 desa.
“Keterlambatan pencairan dana desa dapat terjadi karena terlambatnya dikeluarkan peraturan pemerintah kabupaten/kota dan keterlambatan musyawarah desa,” ungkap Haji Uma.
Ia menambahkan, terlambatnya pencairan dana desa juga dapat disebabkan oleh keterbatasan tanaga ahli dalam menyusun rencana anggaran biaya sebagai dasar penyusunan APBDes dan kebiasaan buruk aparatur desa menunda penginputan dalam aplikasi Siskeudes.
“Kita sangat mengharapkan kerja sama semua pihak yang terlibat untuk meminimalisir permasalahan pencairan dana desa dan tata kelola dana desa dengan tidak saling menyalahkan,” tegas Haji Uma.
Kepada Kepala BPKP Aceh, Haji Uma juga menyampaikan sejumlah keluhan kepala desa di Aceh yang mengaku khawatir soal tidak adanyan acuan hukum yang jelas soal realokasi dana desa untuk penanganan Coronavirus Disease (Covid – 19).
Para kepala desa mengaku kebingungan untuk menindaklanjuti kebijakan Surat Edaran Kemendes PDTT Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid 19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa. Kebijakan Kementerian Desa tersebut menurutanya belum sinkron dengan peraturan Mendagri dan Menteri Keuangan.
Dirinya mencontohkan, seperti penggunaan dana desa untuk pembangunan sudah jelas pajaknya, namun kalau untuk penanganan Covid-19 semisal untuk beli beras dan beli masker serta disinfektan bagaimana pajaknya, ini yang menjadi keluhan para kepala desa di Aceh.
Bahkan ada desa di Aceh Utara yang sudah ‘jor-joran’ menggunakan dana desa untuk beli beras dan masker untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Sementara sejauh ini kasus wabah Corona belum begitu signifikan di Aceh, dibandingkan dengan Pulau Jawa.
“Kita tidak tahu ke depan seperti apa kalau anggarannya dihabiskan sekarang. Tapi kita berdoa agar Aceh dijauhkan dari wabah Covid-19, maka bijaklah dalam penggunaan dana desa,” pesan Haji Uma.
Terkait persoalan pajak, ada juga kesadaran kepala desa yang memang menyisihkannya, namun ada juga yang tidak paham sama sekali karena belum ada panduan untuk itu. “Kita memang sedang konsen terhadap pemantauan pencairan dana desa triwulan pertama tahun 2020. Serta pemantauan dana desa untuk penanganan Covid-19. Kita harap regulasi soal realokasi dana desa untuk penanganan covid 19 juga harus jelas, jangan sampai nanti ada kepala desa yang berhadapan dengan hukum,” terangnya.
Disamping itu, pihaknya juga ingin agar dana dana yang digelontorkan pusat bisa mendongkrak kemakmuran masyarakat dan memajukan daerah. Maka itulah, dirinya mengingatkan penggunaannya harus tepat sasaran.
“Maka itu kami lakukan pengawaan pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” kata Haji Uma.
Haji Uma juga berharap BPKP Perwakilan Aceh bisa terus mengingatkan para kepala daerah di Aceh agar tidak selalu terlambat dalam menerbitkan peraturan tentang alokasi dan prioritas dan penggunaan dana desa. Karena dampaknya berpengaruh terhadap keterlambatan pencairan dana desa.
Pihaknya juga berharap ke depan tidak ada lagi saling menyalahkan antara pemerintah dan desa. “Selama ini pemerintah menyalahkan desa terlambat membuat pertanggungjawaban dan desa menyalahkan pemerintah terlambat mengeluarkan regulasi,” demikian Haji Uma.
Kepala BPKP Perwakilan Aceh Indra Khaira Jaya menyampaikan, perlu dukungan dan kerja sama yang baik dalam membangun sebuah daerah.
“Kalau uang macet maka kehidupan-kan tidak normal, mengapa ini terjadi karena tidak ada tata kelola yang baik,” terangnya.
Pihaknya selalu mengingatkan agar adanya perbaikan tata kelola keuangan daerah dengan membangun sistem pengendalian, kalau itu tidak ada maka apapun yang mau dibuat tidak bisa. Menurutnya, jiwa pengendalian inilah masih sangat rendah di Aceh. Maka BPKP mendorong sistem ini bekerja.
“Alat kendali sering diabaikan tidak begitu menjadi perhatian,” ujar putra asli Aceh Selatan yang baru dua bulan bertugas di Aceh ini.
Terkait dengan dana desa, kata Indra, menurut data per 3 April 2020, sebanyak 2.474 desa dari 6.497 desa di Aceh atau 38,08 persen sudah menerima alokasi dana desa triwulan pertama tahun 2020.
Persentasenya secara nasional juga memamg masih kecil bahkan menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu.
Dijelaskan, penyebab keterlambatan penyaluran dana desa ini disebabkan keterlambatan penetapan APBDes. Adapun penyebab keterlambatan penetapan tersebut karena peraturan kepala daerah tentang alokasi dan prioritas penggunaan dana desa terlambat diterbitkan.
Kemudian, juga disebabkan keterlambatan penyelenggaraan musyawarah desa, serta keterlambatan tenaga ahli penyusun Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) sebagai dasar penyusunan APBDesa.
“Faktor lainnya yang ikut mempengaruhi keterlambatan adalah aparatur desa masih sibuk melakulan pertanggungjawaban dana desa tahun 2019, karena kebiasaan jelek menunda nunda pengimputan dalam aplikasi Siskeudes,” terangnya.
Lebih lanjut disampaikan, ada beberapa permasalahan dalam tata kelola keuangan desa, yaitu pencairan dana desa dilakulan sekaligus dan tanpa melalui Surat Permintaan Pembayaran (SPP) hasil aplikasi Siskeudes.
Selain itu belum ada kontrol pemerintah daerah tentang pencairan yang dilakukan sekaligus. Selama ini kepala desa bermain single fighter tanpa melibatkan perangkat lainnya.
Ada juga kebiasaan mengalihkan sisa dana tanggal 31 Desember ke rekening lain. Selain itu kewajiban perpajakan juga sering ditunda pembayarannya. Persoalan lainnya, pengimputan Buku Kas Umum (BKU) juga tidak dilakukan tiap bulan.
“Optimalisasi peran pendamping juga masih kurang, bahkan menambahkan persoalan baru,” ungkap Indra.
Berikutnya, penyertaan modal BUMDes belum disertai analisis bisnis yang memadai dan program padat karya tunai desa belum mencapai 100 persen. (HS)