DPRA Harap Presiden Akomodir Seluruh Pelanggaran HAM di Aceh, Jangan Setengah-setengah
Negara juga diminta untuk tidak setengah-setengah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh. Hal ini dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum kepada korban serta keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di daerah tersebut.
Komisi I DPRA juga meminta Satker bentukan Presiden RI dan Komnas HAM untuk mengumumkan penyelesaian tiga perkara pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, seperti yang telah diumumkan Presiden RI Jokowi. “Agar tidak muncul salah tafsir di lapangan,” kata Iskandar Usman.
Selain itu, Iskandar Usman Alfarlaky juga mengaku bingung dengan nasib penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh.
“Kondisi ini yang menjadi beban bagi kita, ini yang harus kita cari jalan keluar dan perlu kita duduk bersama,” kata Iskandar lagi.
Hal serupa juga diakui Anggota Komisi I DPR Aceh Irawan Abdullah. Meskipun demikian, dia berharap semua pihak dapat mengambil niat baik dari Presiden RI usai mengeluarkan pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh.
Irawan juga berharap dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh tidak turut menimbulkan polemik di daerah. Dia juga mengaku khawatir banyak persoalan-persoalan yang akan timbul dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh.
“Jangan timbul harapan dari masyarakat, kemudian timbul persoalan lagi,” kata Irawan.
Sementara terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Irawan Abdullah turut menyontohkan beberapa kasus yang dialami DPRA. Dia bahkan menyentil nasib Qanun Bendera Aceh dan Qanun Keluarga yang telah disahkan DPRA, akan tetapi hingga saat ini belum mendapat nomor registrasi dari Kemendagri sehingga tidak bisa dilaksanakan di Aceh.
“Kita harus optimis menatap ke depan, untuk kita selesaikan apa yang bisa kita selesaikan,” kata Irawan.
Dalam rapat tersebut, Otto yang turut terlibat dalam Tim PP HAM bentukan Presiden RI ikut menceritakan pengalamannya saat mengumpulkan data-data pengakuan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dia menceritakan turut mengalami guncangan psikologi ketika mendengar cerita-cerita korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.