Banda Aceh — Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh diminta mengusut potensi dugaan penyimpangan anggaran penggemukan sapi di Saree, Aceh Besar yang bersumber dari APBA 2019 dan 2020.
Berdasarkan penelusuran Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) terhadap pengelolaan anggaran penggemukan sapi di UPTD Inseminasi Buatan Inkubator (IBI) di bawah Dinas Peternakan Aceh patut diduga terjadinya potensi pidana korupsi.
“Fakta lapangan menunjukkan kondisi saat ini, sapi dengan jumlah 400 ekor dalam kondisi kurus dan tanpa makanan seperti tidak terurus secara benar. Sampai – sampai pengakuan warga lingkungan sudah ada (sapi) yang mati,” ujar Koordinator MaTA, Alfian, dalam dalam keterangannya, Jum’at (5/6).
Menurut Alfian, kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan rencana awal, di mana Pemerintah Aceh membangun perencanaan dengan anggaran yang besar.
“Tata kelola anggaran patut diduga potensi korupsi. Pengelolaan sapi saat ini juga sangat memprihatinkan. Ini menjadi peristiwa berulang terhadap tata kelola pemerintah yang buruk dan tidak dapat ditoleransikan lagi. Uang rakyat harus dikelola dengan benar dan satu rupiah wajib dipertangungjawabkan,” tegasnya.
Secara anggaran berdasarkan penelusuran MaTA terhadap UPTD IBI tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2019. Perinciannya, pengadaan pakan konsentrat untuk peternak Rp 2.331.350.000, pengadaan hijauan pakan ruminasia Rp 1.808.904.000, pembangunan padang pengembalaan Rp 1.500.000.000.
Sementara tahun anggaran 2020, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran untuk pengadaan bibit sapi mencapai Rp 88.000.000.000 dan pakan ternak sapi Rp 65.000.000.000.
“Jadi Pemerintah Aceh sudah mengeluarkan anggaran ke UPTD IBI tersebut tahun 2019 dan 2020 sebesar Rp 158.640.254.000, ini berdasarkan pagu anggaran APBA,” ungkap Alfian.
Berdasarkan fakta tersebut, MaTA meminta secara tegas kepada pihak Kejati Aceh mengusut potensi korupsi terhadap pengelolaan sapi tersebut.
Karena dengan kondisi pengecekan lapangan pada Kamis, 4 Juni 2020, pengelolaan sapi tersebut sudah dalam kondisi gagal sehingga siapa pun mereka wajib mempertangungjawabkan perbuatan mereka.
Apabila ada pihak “melindungi” maka patut diduga terlibat dalam kejahatan dalam pengelolaan tersebut.
MaTA tidak dapat mentolerir atas perbuatan tersebut karena sudah merugikan keuangan dan rakyat Aceh yang cukup besar. (IA)