Banda Aceh — Potensi kerugian negara yang terjadi akibat tindak pidana korupsi yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2023 mencapai Rp 172.280.668.253.
Selama tahun 2023, Aparat Penegak Hukum (APH) telah menetapkan 79 orang tersangka dari 32 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani.
Penyalahgunaan anggaran merupakan modus yang paling dominan dilakukan oleh para tersangka korupsi di Aceh pada tahun 2023.
Pernyataan itu disampaikan, Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, saat melaporkan catatan kasus korupsi Aceh tahun 2023, Jum’at (5/1/2024).
MaTA rutin melakukan monitoring kasus penanganan korupsi di Aceh sejak tahun 2011. Hanya pada tahun 2019-2020 tidak melakukan pemantauan karena pandemi Covid-19.
“Aparat penegak hukum di Aceh sepanjang 2023 menangani 32 kasus korupsi yang sudah ada penetapan puluhan tersangkanya dengan potensi kerugian negara Rp 172 miliar lebih,” kata Alfian didampingi Staf Badan Pekerja MaTA Munawir.
Dari 32 kasus di tahun 2023, jumlah pelaku korupsi yang tercatat adalah 79 orang. Unsur swasta mendominasi dengan jumlah 25 orang, ASN sebanyak 22 orang, dan selebihnya pejabat pengadaan, mantan kepala daerah, aparatur desa dan lainnya.
Kasus korupsi paling banyak terjadi di pemerintah kabupaten/kota selama 2023 dengan 13 kasus. Selanjuntnya di pemerintahan desa 6 kasus dan lingkup pemerintahan provinsi sebanyak 5 kasus.
Sektor desa masih sangat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi, ini terlihat dari jumlah kasus dana desa yang disidik aparat penegak hukum,” kata Alfian.
Ia menyebutkan dari 32 kasus korupsi tersebut modus operandi yang dominan dilakukan para tersangka korupsi adalah penyalahgunaan anggaran sebanyak 7 perkara yang mengakibatkan kerugian negara Rp 8,5 miliar.
Kasus penyalahgunaan anggaran yang dimaksud yakni korupsi PT Rumah Sakit Arun Lhokseumawe, korupdi Sana Desa Batu Napal di Subulussalam, pembangunan 70 rumah layak huni Baitul Mal di Aceh Tenggara, dan korupsi sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) badan layanan umum daerah (BLUD) Rumah Sakit Aceh Selatan.
Kemudian, korupsi penyelewengan pengelolaan Alsintan di Aceh Barat Daya, dana Desa Sirimo Mungkur di Aceh Singkil, dan korupsi bantuan operasional keluarga berencana di Aceh Selatan.
Selain itu, modus operandi lainnya yang digunakan tersangka korupsi itu antara lain 5 kasus penyalahgunaan wewenang dengan kerugian negara Rp 68 miliar dan lima kasus pengurangan volume pengerjaan dengan kerugian negara Rp 12 miliar.
Selanjutnya, 5 kasus laporan fiktif dengan kerugian Rp 72,9 miliar, 4 kasus penggelumbungan anggaran sebesar Rp 3 miliar, 4 kasus penggelapan senilai Rp 6,5 miliar, dan 2 kasus proyek fiktif dengan kerugian Rp749 juta.
Proyek fiktif adalah kasus korupsi timbunan lokasi MTQ Aceh Barat dan korupsi proyek fiktif Gampong Suak Keumude di Aceh Barat.
Staf Badan Pekerja MaTA Munawir menambahkan, kejaksaan menjadi lembaga hukum yang paling banyak menetapkan tersangka korupsi tahun 2023 dengan 28 kasus, sementara polisi hanya 4 kasus.
Salah satu kasus yang ditangani polisi adalah korupsi pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh.
Berdasarkan jumlah hasil putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, terdapat 72 putusan dari 38 kasus korupsi yang diputuskan oleh pengadilan tipikor Banda Aceh selama tahun 2023 dengan jumlah terdakwa 81 orang.
Dari 81 terdakwa, sebanyak 54 terdakwa divonis ringan (1-4 tahun), 10 terdakwa mendapat vonis sedang (4,1-10 tahun), 0 vonis berat (10 keatas) dan 16 terdakwa divonis bebas.
MaTA menilai, pengadilan dalam penanganan kasus korupsi masih jauh dari harapan, artinya vonis belum memberikan efek jera, dan belum berpihak terhadap upaya semangat pemberantasan korupsi dengan menghukum koruptor seberat-beratnya.
Koordinator MaTA Alfian mengungkapkan sepanjang 2023 terjadi tren vonis bebas khususnya dalam perkara korupsi.
Dalam catatan MaTA, terdapat lima vonis bebas dengan 17 terdakwa yang diputuskan Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh, dan satu vonis bebas diputuskan Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada tahapan banding.
Namun, dalam putusan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU), tiga vonis bebas di antaranya dibatalkan Mahkamah Agung (MA), satu tidak dikabulkan, dan satu kasus belum turun putusan.
Alfian berpendapat meningkatnya tren vonis bebas terhadap perkara korupsi mengindikasikan permasalahan serius di kalangan APH karena belum adanya sinkronisasi serta koordinasi dalam upaya pemberantasan korupsi di Aceh. (IA)