BANDA ACEH — Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh menyesalkan tindakan pelarangan pendirian dan pembongkaran serta penyitaan secara paksa tiang Masjid Taqwa Muhammadiyah di Desa Sangso Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen, yang dilakukan oleh sejumlah personil Satpol PP Kabupaten Bireuen pada Kamis (12/5/2022)
“Kami menyayangkan tindakan Satpol PP Bireuen atas nama Pemkab Bireuen. Tindakan ini telah menyakiti perasaan umat Islam di Aceh maupun di Indonesia khususnya warga Muhammadiyah dan berpotensi merusak ukhuwah dan persatuan umat,” ujar Ketua MIUMI Aceh Dr Muhammad Yusran Hadi Lc MA, Selasa (17/5)
Menurutnya, tindakan Pemkab Bireuen ini tidak patut dilakukan oleh seorang muslim. Karena sesama muslim itu bersaudara (berukhuwah). Menjaga ukhuwah ini hukumnya wajib. Sebaliknya, merusak ukhuwah itu haram. Inilah ajaran Islam yang wajib diamalkan.
“Kenapa dengan orang kafir kita bisa toleransi dan bersahabat, bahkan wajib bertoleransi, namun dengan sesama saudara muslim kita tidak bisa bertoleransi, dan bahkan memusuhinya. Ini sangat aneh dan salah kaprah.
Masjid itu rumah Allah untuk ibadah setiap muslim. Apakah patut seorang muslim menghalangi dan melarang pendirian masjid? Apalagi sampai membongkar tiang masjid yang sudah dicor dan menyita tiangnya secara paksa. Saya kira tidak patut. Ini pelanggaran syariat Islam secara terang-terangan,” sebut Yusran Hadi, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry.
Ditambahkannya, tindakan Pemkab Bireuen telah mencoreng nama baik Aceh yang selama ini dikenal sebagai daerah syariat Islam dan Serambi Mekkah.
“Ini sangat memalukan. Sepatutnya kejadian ini tidak boleh terjadi di Aceh yang mayoritas penduduknya itu muslim. Selain itu juga mengingat Aceh yang selama ini dikenal sebagai daerah syariat Islam dan Serambi Mekkah. Tentu ini mencoreng nama baik Aceh.
Bangunan yang sedang didirikan ini adalah masjid yang merupakan rumah Allah untuk ibadah. Bukan rumah biasa dan bukan pula untuk maksiat. Maka tidak boleh seorangpun melarang mendirikan masjid, termasuk pemerintah. Melarangnya sama saja melarang ibadah. Berarti sama saja melawan Allah dan Rasul-Nya.
Orang kafir Belanda saja sebagai penjajah tidak berani melarang mendirikan masjid di Indonesia. Parahnya, ada orang orang yang mengaku muslim tapi kok berani melarang mendirikan masjid. Ini terjadi di Aceh pula. Sangat memalukan”.
Yusran Hadi menyatakan, tindakan ini menunjukkan perbuatan arogan dan semena-mena yang dipertontongkan kepada umat.
Seharusnya pihak Pemkab Bireuen lebih mengutamakan adab dan musyawarah dalam masalah ini, bukan malah mempertontonkan perilaku buruk dan tindakan sewenang-wenang dengan merusak dan menyita secara paksa tiang masjid milik Muhammadiyah yang sudah dicor.
Masjid ini rumah Allah ta’ala. Sebegitu teganya seorang muslim melarang pendirian masjid, bahkan merusak, mencabut dan menyita tiang masjid yang sudah dicor. Dimana iman dan hati nurani orang yang melakukan perbuatan ini?.
Tindakan Pemkab Bireuen ini juga dinilai tidak berpihak kepada penegakan konstitusi negara, bahkan telah melanggarnya yaitu pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila yang menjamin kebebasan dalam menjalankan agama atau ibadah masing-masing.
Selain itu, Pemkab Bireuen tidak paham esensi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 4 tahun 2016 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Begitu pula tidak ada larangan pendirian masjid Muhammadiyah pada Undang-undang dan qanun tersebut.
Seharusnya penolakan oleh sekelompok orang yang tidak jelas ini tidak menjadikan alasan pihak Pemkab memihak kelompok tersebut, karena mereka melanggar hukum dan konstitusi.
Pemkab seharusnya memihak kepada penegakan konstitusi dengan melindungi dan menjamin kebebasan setiap warga dalam menjalankan agana atau ibadah dan menjelaskan pentingnya masjid dan ukhuwah kepada mereka yang menolak pendirian masjid ini.
“Saya ingin bertanya kepada pihak yang menolak pendirian Masjid Muhammadiyah dan Pemkab Bireuen, bolehkah warga lain melarang pendirian masjid milik dayah atau NU karena pemahaman ibadah yang berbeda dengan mereka? Apakah Pemkab Bireuen akan bertindak melakukan hal yang sama terhadap pendirian masjid dayah atau NU jika ada warga yang menolaknya?
Alasan terkait IMB dan lainnya yang disampaikan oleh Pemkab Bireuen, dinilai Yusran Hadi tidak logis dan terkesan mengada-ada serta dipaksakan, karena menurut informasi dari pihak Muhammadiyah Bireuen, IMB sudah pernah dikeluarkan oleh pihak Pemkab. Semua alasan yang disampaikan tidak bisa diterima, baik secara akal sehat, hukum Islam maupun hukum positif.
Yusran Hadi mengungkapkan, Muhammadiyah bukanlah organisasi baru di Indonesia termasuk Aceh. Muhammadiyah sudah ada sejak tahun 1912 di Yogyakarta. Di Aceh, Muhammadiyah sudah ada sejak tahun 1926 di Kuala Simpang dan tahun 1928 di Sigli. Masjid Muhammadiyah ada di seluruh Aceh bahkan seluruh Indonesia. Tapi tidak ada kejadian yang memalukan seperti di Samalanga ini.
Bupati Bireuen harus meminta maaf kepada umat Islam khususnya warga Muhammadiyah dan menyelesaikan persoalan ini dengan mengutamakan musyawarah dan toleransi serta ukhuwah.
Sebagai pemimpin pemerintah tingkat kabupaten, Bupati Bireuan harus bertanggung jawab atas tindakan pihaknya ini dengan meminta maaf kepada umat Islam khususnya Muhammadiyah baik di Aceh maupun di Indonesia.
Persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang baik dan bermartabat yaitu dengan mengedepankan musyawarah, toleransi dan ukhuwah, karena inilah ajaran Islam yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
“Kami meminta kepada pihak Muhammadiyah untuk menempuh jalur hukum bila tidak ada i’tikad baik dari Pemkab Bireuen.
Seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan bermartabat. Namun bila Pemkab Bireuen tidak ada itikad baik untuk menyelesaikannya dengan baik dan bermartabat, maka saya sarankan kepada PD Muhammadiah Bireuen atau PW Muhammadiyah Aceh untuk menempuh jalur hukum,” terang Yusran Hadi, Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh lulusan International Islamic University Malaysia (IIUM).
Ia juga meminta umat Islam khususnya di Aceh agar tidak terprovokasi dengan isu Wahabi yang di-stigmakan kepada Muhammadiyah dan umat Islam ahlussunnah wal jama’ah lainnya yang berbeda pandangan atau mazhab Fiqh.
Isu wahabi diciptakan dan dipopulerkan oleh musuh-musuh Islam dari orang-orang kafir Barat, Syi’ah dan Liberal dengan tujuan mengadu domba umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar umat Islam terpecah sehingga menjadi lemah dan dijajah oleh musuh-musuh Islam.
“Kita jangan sampai terpengaruh dengan isu wahabi dan jangan pula mau diadu domba oleh musuh-musuh Islam dengan isu murahan dan fitnah ini. Umat Islam harus bersatu dan saling toleransi serta menjaga ukhuwah. Ini perintah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mazhab boleh berbeda, tapi aqidah tetap satu yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah dan ukhuwah tetap terjaga.
Muhammadiyah itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Muhammadiyah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang dipahami dan diajarkan oleh para ulama salaf (para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in) dan para ulama khalaf yang mengikuti mereka. Jadi, Muhammadiyah itu saudara-saudara kita seagama dan seaqidah.”
Ia juga menyampaikan, Muhammadiyah telah banyak berbuat kebaikan dan berjasa terhadap umat Islam dan bangsa ini dalam banyak hal, baik dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun sosial. Muhammadiyah juga sangat berperan dan berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan mendirikan negara ini.
“Kita seharusnya bersyukur dengan adanya Muhammadiyah dan berterima kasih atas kebaikan dan jasa Muhammadiyah yang tidak pernah berhenti selama satu abad lebih untuk umat Islam dan bangsa ini. Manusia yang baik itu adalah manusia yang menghargai kebaikan orang lain dan tidak melupakannya,” pungkas Anggota Dewan Pakar Parmusi Aceh ini. (IA)