Pengawasan DPRK Sabang Ungkap Praktik Curang Penyalahgunaan BBM Subsidi
Di bawah langit Sabang yang biru, di tengah ombak yang mengempas pantai-pantai berpasir putih, tersembunyi sebuah kisah yang jauh dari keindahan.
Sebuah cerita yang bukan tentang keelokan alam, melainkan tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Ketua Komisi IV DPRK Sabang, Ridwan telah mengangkat tabir yang menyelubungi praktik-praktik curang dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dalam proyek-proyek pemerintah.
Skandal ini, jika dibiarkan, bisa menjadi lubang hitam yang menggerogoti keuangan negara dan kepercayaan publik.
Dalam dunia birokrasi yang seharusnya transparan, Ridwan mengingatkan kembali tentang Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 yang diperbarui dengan Perpres No. 43 Tahun 2018.
Aturan ini menegaskan batasan antara pengguna BBM bersubsidi dan non-subsidi, sebuah garis pemisah yang seharusnya jelas, tetapi kerap kali diterobos dengan kelicikan.
Dalam setiap lembar kontrak kerja yang ditandatangani antara perusahaan jasa konstruksi dan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Sabang, termaktub bahwa BBM yang digunakan haruslah Non Subsidi.
Bahkan, dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB), komponen ini telah dimasukkan sebagai bagian dari perhitungan biaya proyek. Namun, realitas berkata lain.
“Ini bentuk penyimpangan anggaran yang sangat serius. Jika ada kontraktor yang nekat menggunakan BBM Bersubsidi, artinya mereka dengan sengaja mengakali anggaran, membuat negara rugi, dan rakyat dirugikan,” tegas Ridwan dalam nada yang mengguncang, seolah ingin menyalakan alarm di tengah kelalaian birokrasi.
Kontraktor-kontraktor yang bermain di wilayah abu-abu ini memiliki modus yang terstruktur.
Dengan licik, mereka memanfaatkan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, untuk mengurangi biaya operasional proyek yang mereka tangani. Lalu, ke mana larinya selisih dana yang seharusnya dialokasikan untuk BBM Non Subsidi?
Ridwan tak menampik adanya kemungkinan bahwa keuntungan tambahan ini berujung pada kantong-kantong pribadi. Modus seperti ini bukan hanya sekadar kelalaian administratif, tetapi telah menjurus pada korupsi yang terselubung.