Infoaceh.net, KOBE — Dr Taqwaddin Husin dan Dr Teuku Alvisyahrin, keduanya Dosen Pascasarjana pada Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK), diundang ke Kobe University Jepang.
Undangan tersebut dalam rangka Symposium Memperingati 30 Tahun Gempa Hanshin-Awaji Kobe.
“Bagi kami berdua, undangan ini merupakan kali ketiga kunjungan ke Kobe University, dimana kami merupakan anggota kolaborasi riset aspek kebencanaan yang dipimpin oleh Kobe University bersama mitra ahli dari beberapa negara Asia Pasifik sejak tahun 2012,” ungkap Taqwaddin, yang juga Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor.
Keduanya mempresentasikan Aspek Hukum Peran Internasional melakukan Pertolongan dan Rehabilitasi Rekonstruksi pasca Tsunami Aceh tahun 2004.
Presentasi diawali dengan menggambarkan dampak tsunami Aceh yang menurut laporan PBB dan BRR telah menewaskan 230.000 orang, menyebabkan kerusakan rumah 139.000 unit, kerusakan lahan pertanian 60.000 hektar, kerusakan jalan 3.000 km, kerusakan 14 pelabuhan laut, kerusakan 11 airport, sebanyak 200 sekolah rusak, 127 rumah sakit/klinik, 3000 masjid/meunasah rusak, serta banyak lagi fasilitas publik yang rusak.
Dahsyatnya dampak dari gempa dan tsunami Aceh telah menimbulkan keprihatinan internasional, baik pemerintah negara asing maupun NGO Internasional dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang ke Aceh dengan alasan kemanusiaan untuk melakukan pertolongan penanggulangan bencana.
Bahkan untuk memberikan simpatinya banyak kepala negara yang langsung mengunjungi Aceh, antara lain mantan Presiden Amerika, Presiden Turki, Pimpinan Australia, Perdana Menteri Jepang, dan banyak lainnya.
Pertolongan itu dimulai dengan melakukan evakuasi korban, pengobatan, pemenuhan kebutuhan hidup, hingga rehabilitasi dan rekontruksi berbagai fasilitas publik dan rumah-rumah pribadi.
Semua itu dilakukan secara sukarela oleh pihak internasional dengan dukungan anggaran besar sekali.
Tercatat ada 34 negara sebagai donor utama yang memberikan bantuannya untuk membangun Aceh kembali dengan komitmen anggaran mencapai 6,7 Miliar Dolar AS.
“Satu hal penting perlu disampaikan adanya gempa dan tsunami dahsyat ini telah menimbulkan kesadaran bersama untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI sehingga melahirkan MoU Helsinki di Finlandia 15 Agustus 2005,” ujar Alvisyahrin didampingi Taqwaddin.
Ia juga menyampaikan pada awal terjadinya tsunami Aceh, belum ada aturan khusus yang mengatur bagaimana mekanisme atau prosedur pihak internasional masuk ke Aceh, Indonesia untuk memberikan pertolongan.
Sekalipun demikian, karena konstitusi Indonesia (UUD 1945), serta kebijakan politik Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif sebagaimana diatur dalam UU tentang Hubungan Luar Negeri dan UU tentang Perjanjian Internasional Indonesia, maka Indonesia membuka diri terhadap internasional, baik pemerintah negara asing, lembaga-lembaga persatuan bangsa-bangsa seperti UNDP, UNICEF, UN HABITAT, UNESCO dan lain-lain.
Untuk menutupi kekosongan hukum saat itu, maka tanggal 2 Maret 2005 Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres Nomor 1/2005) kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan berkomunikasi dengan pihak internasional untuk melakukan respon tanggap darurat dan mempersiapkan proses Rehabilitasi Rekonstruksi Aceh.
Kepada para peserta yang hadir dari China, Jepang, Brazil dan Indonesia serta banyak negara lain yang mengikuti simposium melalui Zoom, Dr Teuku Alvisyahrin menyatakan sebetulnya, sebelum pun ada Inpres ini para pihak internasional sudah datang ke Aceh pada hari kedua bencana.
Acara yang berlangsung serius ini dilaksanakan di Kobe University, Centennial Memorial Rokko Hall, pada 17 Januari 2025 sekaligus memperingati hari ke-30 terjadinya gempa dahsyat Kobe pada 17 Januari 1995 silam
Dari perspektif hukum, Taqwaddin menambahkan adanya Tsunami Aceh dengan pertolongan dari begitu banyak negara, dimana saat itu Indonesia belum ada Undang-undang yang mengatur berkaitan pertolongan ataupun penanganan bencana, telah menimbulkan harapan bersama pimpinan pemerintahan untuk segera membentuk undang-undang tersendiri yang menangani masalah ini.
Kemudian, lahirlah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dalam salah satu pasalnya mengatur tentang peran lembaga internasional.
Selanjutnya, sebagai penjabaran dari UU tersebut maka diterbitkan PP Nomor 30 Tahun 2008 tentang Peran Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
Adanya PP ini telah memberikan arahan yang jelas tentang kewenangan Pemerintah RI (BNPB) serta prosedur yang jelas serta kemudahan dan larangan kepada pihak internasional yang terlibat dalam penaggulangan bencana di Indonesia.
Mengakhiri presentasi, Taqwaddin dan Alvisyahrin mengucapkan terima kasih kepada negara-negara yang telah terlibat membantu proses recovery Aceh sehingga Aceh hari ini sudah jauh lebih baik dari sebelum tsunami (build back better).
“Saya akui, tsunami telah membawa hikmah yang begitu banyak untuk Aceh, yaitu adanya perdamaian yang mengakhiri konflik panjang yang membuat sangat menderita, lahirnya UU Kebencanaan dengan segala turunannya, serta semakin membaiknya kondisi Aceh dalam 20 tahun terakhir ini,” demikian pungkas Taqwaddin yang juga Ketua ICMI Aceh.