Perhitungan Kerugian Negara Kasus Tom Lembong Dinilai Keliru, Bisa Bikin Pabrik Gula Tutup
Temuan ini sangat bertolak belakang dengan dakwaan Kejaksaan yang menyatakan Indonesia seharusnya mengimpor GKP langsung.
“Kalau logika itu dibenarkan, maka semua pabrik seharusnya ditutup. Buat apa memproduksi kalau dianggap lebih menguntungkan impor barang jadi? Padahal, dari pengolahan bahan mentah itulah muncul nilai tambah, lapangan kerja, dan pajak,” kata Vid.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti kesalahan fatal dalam cara Kejaksaan menafsirkan HPP. Menurutnya, HPP ditetapkan untuk melindungi petani bukan sebagai batas maksimal harga jual produk akhir.
Setelah tebu diolah menjadi gula, maka pabrik secara alami akan menambahkan komponen biaya produksi, distribusi, dan margin keuntungan.
“Logikanya sama seperti UMR. Kalau UMR Rp 5 juta lalu ada perusahaan menggaji Rp 6 juta, itu bukan pelanggaran. Justru sehat. Begitu juga dengan HPP. Kalau harga jual di atas HPP, itu wajar,” ujarnya.
Vid menganggap pendekatan hukum dalam kasus ini sebagai preseden buruk, baik bagi iklim usaha maupun perekonomian nasional. Kekeliruan dalam menghitung kerugian negara bisa menimbulkan konsekuensi sistemik.
“Petani tak bisa jual panen, industri berhenti berproduksi, tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dan harga gula melonjak. Kalau pendekatan seperti ini terus digunakan, maka bukan hanya satu orang yang terdampak, tapi seluruh sistem ekonomi nasional,” tutupnya.