Teuku Farhan: Aceh Perlu Bangun Model Platform Medsos Sesuai Syariah
Banda Aceh — Aceh perlu membangun sebuah model platform media sosial (medsos) yang sesuai syariah dan memiliki kearifan lokal.
“Jangan hanya terjebak pada pembangunan infrastruktur fisik, sehingga sumber daya manusia anak-anak muda Aceh dapat diberdayakan,” ujar Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi & Teknologi (MIT) Aceh, Teuku Farhan SKom, Senin (14/3).
Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri pada Rapat Panitia Musyawarah (PANMUS) – II Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Senin (14/3). Teuku Farhan membawa makalah dengan judul “Mencari penghasilan melalui aplikasi media sosial ditinjau dari perspektif syariat Islam”.
Ia menyontohkan model platform media sosial dari Aceh yang sudah diakui nasional, namun kurang mendapat perhatian di tingkat lokal adalah Gampong.net dan Dayah.net.
Keduanya merupakan platform media sosial berbasis kearifan lokal Aceh.
Dijelaskannya, khusus untuk kota Banda Aceh yang memiliki IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kota Banda Aceh ranking dua nasional setelah Yogjakarta, merupakan modal besar untuk membangun ekosistem ekonomi digital di Aceh.
“Sehingga perlu dibentuk suatu pusat kajian digital syariah yang dapat menjadi rujukan masyarakat dalam menyikapi berbagai perkembangan dunia digital dan media sosial,” terangnya.
Diungkapkannya, Youtube, WhatsApp, Facebook, Instagram dan Tiktok menjadi platform media sosial paling banyak digunakan oleh pengguna internet di Indonesia.
Potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar dan tren mencari penghasilan melalui aplikasi media sosial semakin meningkat dan beragam, tapi daya saing digital masih rendah sehingga perlu digencarkan literasi digital dan sistem transaksi keuangan ekonomi digital sesuai syariah, khususnya kepada kalangan UMKM dan pelaku industri media sosial.
Industri media sosial adalah industri raksasa bernilai ribuan triliun rupiah, dan merupakan profesi dan sumber penghasilan baru yang dapat menampung banyak tenaga kerja baru serta dapat dikerjakan dari rumah, lintas negara (local talent, global market).
Kata Teuku Farhan, kebutuhan SDM di bidang ini sekarang dan masa depan sangat tinggi, namun institusi pendidikan dan pemerintah di Aceh belum merespon serius perkembangan ini.
Industri ini jika digarap dan didanai serius mampu menjadi solusi mengatasi pengangguran yang tinggi di Aceh.
Tak hanya itu, lanjut Farhan, layanan keuangan syariah di Aceh perlu didorong untuk mendukung pelaku industri kreatif digital dalam mencari penghasilan di platform media sosial.
Adanya standar ganda dari pemerintah dalam menindak kejahatan siber dan belum ada standar yang ketat dalam pengaturan konten yang sesuai dengan norma hukum, adat dan kearifan lokal, dapat menimbulkan berbagai masalah sosial baru seperti kasus penipuan dan judi online yang dilakukan oleh pelaku judi online berkedok trading yang gemar memamerkan harta untuk menarik hati calon anggota.
Sementara pelaku yang mempublikasi permainan (game) judi online di media sosial tidak ditindak dan fatwa yang merekomendasikan pemblokiran game esport seperti game PUBG sejenisnya diabaikan, sampai saat ini belum diblokir.
Sementara itu banyak pengguna media sosial yang mendapatkan penghasilan di media sosial dari konten game judi online dan game PUBG sejenisnya.
“Profesi dalam bidang media sosial masih kurang populer dan dihargai di kalangan masyarakat Aceh dan sering dianggap bukan pekerjaan.
Saatnya memberi kesempatan kepada pemuda untuk dapat menjalani profesi dan mendapatkan upah layaknya pekerjaan lain.
“Jangan sampai pekerja dalam bidang ekonomi kreatif digital ini tidak mendapat tempat di Aceh,” terangnya
Jika ini terjadi, daerah akan terancam krisis “brain drain” dimana SDM kreatif akan berpindah ke kota lain atau bekerja di negara lain.
Selain itu, minimnya literasi keuangan syariah khususnya kepada pegiat ekonomi digital khususnya di media sosial sehingga dikhawatirkan dapat menjerumuskan masyarakat dalam transaksi dan penghasilan ribawi.
“Perlu kolaborasi sosialisasi masif bersama ulama, pemerintah Aceh, praktisi, komunitas dan akademisi,” pungkasnya. (IA)