INFOACEH.NET, BANDA ACEH — Pemerintahan Indonesia yang baru periode 2024-2029 yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilantik 20 Oktober 2024 belum genap satu bulan.
Namun, beberapa pekan setelah dilantik, Pemerintahan Prabowo melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI telah membuat satu kebijakan yang berpotensi mengusik perdamaian Aceh yang telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lewat penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam.
Permintaan tersebut setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), untuk kemudian berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan adanya pencabutan Qanun KKR tersebut, maka dengan sendirinya lembaga KKR yang sudah terbentuk 10 tahun harus dihapuskan dan dibubarkan.
Permintaan penghapusan Qanun KKR itu disampaikan oleh Plh. Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Suryawan Hidayat, yang merespons surat Plh. Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Nomor: 100.3/11557 tanggal 23 September 2024 hal Permohonan Fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
“Disarankan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, kemudian berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Suryawan dalam surat Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA tanggal 7 November 2024 yang ditujukan kepada Pj. Gubernur Aceh Up. Plt Sekda Aceh.
Adapun Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dilakukan pendalaman dan penajaman baik dari aspek yuridis formal dan materiil.Ia pun meminta agar fasilitasi rancangan Qanun tidak dilanjutkan pembahasannya.
Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Lalu, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi dasar hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006, yang menyatakan “Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid).
Karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi di Aceh dapat melalui Badan Rekonsiliasi Aceh dan melakukan koordinasi kepada Kementerian Hak Asasi Manusia.
Seperti diketahui, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata di Aceh, merekomendasikan tindak lanjut, merekomendasikan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.” (Pasal 1 angka 16 Qanun KKR Aceh).
Pembentukan KKR Aceh merupakan amanat dari MoU Helsinki (2005) yang merupakan Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dengan kata lain KKR Aceh lahir dari kehendak yang tertuang dalam MoU antara Pemerintah dan GAM untuk mengungkapkan kebenaran dalam konflik bersenjata di Aceh yang terjadi dalam kurun waktu 1976 – 2005.
KKR Aceh dibentuk dengan tiga tujuan, yaitu, pertama memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhdap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Kedua membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun lembaga dengan korban, dan ketiga merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
Pembentukan KKR diberikan mandat oleh Undang – undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan dijalankan melalui Qanun Aceh No 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh, di antara kewajiban dari Komisi untuk menyusun laporan yang memuat tentang Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaskud dalam Pasal 16 ayat (1) Qanun KKR Aceh.
Pada periode konflik (4 Desember 1976– 15 Agustus 2005), KKR Aceh melaporkan pada kurun waktu ini telah ditemukan pelanggaran HAM sistematis dalam skala yang masif dan secara meluas terhadap masyarakat sipil.
Dari ribuan kesaksian yang terkumpul oleh KKR Aceh, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi mencapai titik batas (threshold) yang ditetapkan hukum hak asasi manusia internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Komisi juga menemukan pertanggungjawaban moral, institusional, maupun pertanggungjawaban individu para pihak yang terlibat konflik bersenjata yang telah melakukan pembunuhan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual selama periode konflik, dengan impunitas yang hampir total.
Pada periode konflik (4 Desember 1976– 15 Agustus 2005) beberapa kasus pelanggaran oleh para pihak yang telah melanggar kewajibannya untuk melindungi masyarakat sipil di bawah Pasal Umum 3, Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan II 1997. Pasal ini melarang tindakan terhadap masyarakat sipil (civilians) dan kombatan yang telah menyerahkan senjata, termasuk: pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, dan tindakan yang manusiawi dan atau merendahkan martabat manusia.