Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin Husin
Banda Aceh — Ombudsman RI Perwakilan Aceh menilai aturan jam malam dan pemblokiran jalan-jalan di Aceh, yang diberlakukan oleh Pemerintah Aceh bersama unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) sebagai upaya pencegahan meluasnya penyebaran wabah Coronavirus Disease (Covid-19), telah melampaui kewenangannya.
Karenanya, sebelum terjadinya kesan “melawan” Pemerintah Pusat, Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyarankan sebaiknya kebijakan pemberlakuan jam malam di provinsi itu segera dicabut, karena telah menimbulkan keresahan dan ketakutan masyarakat.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin Husin menyampaikan, apa yang telah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau social dintancing sudah benar dan tepat. Hal ini bisa dimaklumi dalam kondisi keuangan Indonesia dan dengan jumlah penduduk begitu banyak, tentu tidak mudah bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan kebijakan lockdown dengan segala konsekwensinya.
“Saya kira, Pemerintah Aceh mengikuti saja kebijakan yang sudah digariskan oleh Pemerintah Pusat. Menurut saya, dengan kemampuan Dana Otonomi Khusus yang dimiliki Aceh saat ini, maka refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 bisa dioptimalkan. Apalagi jika kita cermati angka-angka perjalanan dinas, pengadaan dan perawatan mobil, pelatihan, dan lainnya yang mencapai ratusan miliar. Maka jika tiga item itu saja difokuskan ke penanganan virus corona maka ditemukan angka anggaran sekitar Rp600-an miliar,” ujar Taqwaddin, di Banda Aceh, Kamis (2/4).
Dengan angka yang bisa direfocusing sedemikian besar, tentu menjadi pertanyaan apa artinya bantuan Rp 200.000 bagi warga miskin, dan itu masih terlalu kecil.
Kembali ke persoalan jam malam yang sedang diberlakukan di Aceh, Taqwaddin Husin mengaku, kesannya telah menimbulkan nostalgia traumatik.
“Kami teringat pada masa konflik yang pernah terjadi belasan tahun lalu. Bagi generasi kami, ingatan tersebut masih sangat kuat membekas. Ini beban psikologis yang harus dipertimbangkan saat akan ditempuh kebijakan pemberlakuan jam malam,” ungkapnya.
Masa lalu di Aceh masa konflik bersenjata, lanjut Taqwaddin, jam malam diberlakukan dalam Darurat Sipil, yang kemudian meningkat menjadi Darurat Militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang, situasinya beda. Yang djhadapi bukan pemberontakan, tetapi pandemic wabah virus Corona yang mendunia.
“Di provinsi lain di republik ini yang status pandemiknya lebih parah, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali tidak diberlakukan jam malam. Tetapi Aceh sudah langsung aturan jam malam yang ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh dan unsur Forkopimda, termasuk Ketua DPR Aceh,” jelasnya.
Pemberlakuan jam malam dalam Darurat Sipil di daerah, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai Penguasa, yang karenanya seperti memiliki legalitas untuk bertindak represif kepada warganya. Ini memang dibenarkan dalam UU Keadaan Bahaya.
Makanya, Presiden saja belum memberlakukan Darurat Sipil. Yang dikemukakan Presiden beberapa hari lalu, itu baru wacana. Tetapi yang diputuskan sebagai kebijakannya adalah pemberlakuan Darurat Kesehatan Masyarakat, yang merupakan aturan dari UU Karantina Kesehatan. (m)