Infoaceh.net, BANDA ACEH — Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh menjatuhkan vonis yakni hanya 1 tahun penjara untuk mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh Rachmat Fitri selaku terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan wastafel yang telah merugikan negara Rp 7,2 miliar.
Sidang pembacaan vonis dipimpin oleh hakim yang diketuai M Jamil SH didampingi R. Daddy SH dan Anda Ariansyah SH di Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh, Senin (6/1/2025).
Dalam putusannya majelis hakim menyatakan Rachmat Fitri bersalah melanggar pasal melanggar Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 (1) huruf a, b ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara dua pejabat lainnya pada Dinas Pendidikan Aceh yaitu Zulfahmi dan Mukhlis divonis dengan hukuman berbeda, namun lebih berat.
Keduanya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tempat cuci tangan atau wastafel dengan kerugian negara mencapai Rp 7,2 miliar.
Terdakwa Rachmat Fitri dan Mukhlis selaku pejabat pengadaan divonis selama satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Sementara terdakwa Zulfahmi selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara, dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan.
Vonis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh.
Pada persidangan sebelumnya, JPU menuntut terdakwa Rachmat Fitri dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara.
Kemudian menuntut terdakwa Mukhlis dan terdakwa Zulfahmi masing-masing 6,5 tahun penjara dan membayar denda Rp500 juta dengan subsider enam bulan penjara.
JPU mendakwa ketiga terdakwa secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi pengadaan wastafel atau tempat cuci tangan dengan anggaran mencapai Rp 43,59 miliar dari dana refocussing COVID-19 Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahun 2020
Wastafel tersebut dibuat di semua sekolah menengah atas dan kejuruan serta sekolah luar biasa di Aceh. Pengadaan wastafel tersebut dilakukan saat pandemi COVID-19. Untuk melaksanakan pekerjaan tersebut terdakwa melibatkan 219 perusahaan.
Para terdakwa memecah pekerjaan pengadaan wastafel atau tempat cuci tangan tersebut menjadi 390 paket pekerjaan. Pemecahan pekerjaan guna menghindari tender atau pelelangan.
Selain itu, para terdakwa tidak meninjau ulang spesifikasi teknis dan rancangan anggaran biaya, sehingga terjadi kemahalan harga dalam pengadaan tempat cuci tangan tersebut.
Dari hasil pemeriksaan hasil pekerjaan, ditemukan ada item pekerjaan tidak dikerjakan.
Selain itu juga ditemukan ketidaksesuaian antara volume terpasang dengan volume yang dipersyaratkan dalam kontrak kerja. Sementara, pencairan pekerjaan dilakukan 100 persen.
Dalam pembangunan tempat cuci tangan tersebut ditemukan ketidaksesuaian antara volume yang dipasang dengan volume yang disyaratkan, sehingga merugikan keuangan negara.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh kerugian negara yang ditimbulkan dari pengadaan wastafel tersebut mencapai Rp7,2 miliar.