Oleh: Marzuki Ahmad SHI MH*
HASIL Pilkada Aceh 2024 menunjukkan banyaknya pejuang GAM yang bakal menduduki jabatan Bupati/Wali Kota bahkan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030.
Berbagai intrik Pilkada banyak menuai gejolak dan permasalahan hukum. Pesta demokrasi di Aceh sebagian masyarakat menilai telah terlaksana sesuai mekanisme pemilu, namun banyak juga yang menilai telah mencederai nilai-nilai demokrasi.
Pasca Pilkada 2024 ini, kita akan dihadapkan lagi pada para kandidat yang tidak puas dengan hasil, dan tidak netralnya penyelenggara pemilu, dua objek ini akan dimanfaatkan oleh para calon yang kalah untuk menjadikan materi gugatan Pilkada nantinya.
Dalam hirarki peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan di setiap jenjang, baik UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur semua tahapan proses diperkuat lagi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024, khusus untuk Aceh telah juga dikuatkan oleh Qanun Nomor 7 Tahun 2024.
Seharusnya tiga instrumen hukum ini bisa menjadi role model pelaksanaan pemilihan yang berintegritas. Kita yakin penyelenggara dan pengawas telah melaksanakan tugas mereka sesuai aturan perundang-undangan yang ada.
Pesta demokrasi telah usai, rakyat telah menentukan pilihan mereka, kalau kita melihat hasil sementara pilkada, Partai Aceh yang menjadi nahkoda bersama partai koalisi lainnya banyak meraih kemenangan.
Partai politik lokal di Aceh khususnya Partai Aceh yang terbentuk pasca MoU Helsinki tahun 2006 masih menjadi harapan di Aceh.
Di tingkat provinsi atau Pemilihan Gubernur (Pilgub), sang mantan Panglima GAM Muzakir Manaf atau Mualem yang berpasangan dengan Fadhlullah atau Dek Fad unggul.
Paslon gubernur dan wakil gubernur Aceh nomor urut 02 ini meraih 53 persen suara, sedangkan Paslon nomor urut 01 Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi memperoleh 47 persen suara.
Kemudian di Kabupaten Pidie, kita melihat persentase perolehan suara pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Pidie Sarjani Abdullah-Alzaizi berdasarkan Real Count 50,66%. Bisa dipastikan tidak ada lagi polemik dan gugatan.
Kabupaten Aceh Timur partai besutan PA dengan perolehan 39,79% suara untuk pasangan Iskandar Usman Al Farlaki-Zainal, juga mampu memikat hati rakyat Aceh Timur, dipastikan menjadi bupati/wakil bupati Aceh Timur.
Begitu juga di Aceh Utara pasangan Ismail A. Jalil-Tarmizi Panyang unggul melawan kotak kosong, di Aceh Barat pasangan Tarmizi-Said juga menang.
Jalur independen paslon Bupati/Wakil Bupati Aceh Besar Muharram Idris-Syukri A. Jalil dan Paslon Wali Kota Sabang Zulkifli Adam-Suradji Junus, walaupun semua masih berproses di pleno nantinya, setidaknya ini membuktikan dengan kembalinya pejuang ke puncak Pemerintahan Aceh dan sebagian Kabupaten/Kota menunjukkan popularitas semakin baik.
Tentu kepercayaan itu harus dipertahankan dan dijaga dengan baik, semisal visi dan misi yang pernah disampaikan di depan publik harus direalisasikan dan masuk secara utuh ke badan perencanaan pembangunan daerah, sehingga menjadi bukti mandat rakyat itu bisa berjalan.
Sebut saja salah satunya terkait nasib ribuan Tenaga Honorer Aceh yang terdata di BKA dan terupdate dalam Pangkalan Data BKN, ini salah satu PR Pemerintahan Aceh ke depan di bawah kepemimpinan Mualem-Dek Fad.
Pemerintah Aceh sesekali harus belajar ke Papua. Kita terkadang begitu respek melihat perjuangan teman-teman tenaga honorer Papua yang memperjuangkan pengangkatan honorernya dengan menggunakan regulasi khusus Orang Asli Papua (OAP).
Pilkada telah usai, rakyat telah menentukan pilihannya, tinggal sekarang kita menaruh harapan besar kepada yang terpilih sesuai mandat rakyat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, mengembalikan kekhususan Aceh sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
*Penulis adalah Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli dan Ketua Aliansi Honorer Nasional Provinsi Aceh.